Thursday, December 5, 2013

Berita Arkeologi: PERKAWINAN SESAMA KERABAT MEWARNAI EVOLUSI MANUSIA



Judul Asli: Interbreeding shaped human evolution
Penulis: Michael Marshall
Sumber: NewScientist, 30 November 2013, hal. 8
Bicara soal awal yang tidak menguntungkan. Selama ribuan tahun nenek moyang kita hidup dalam populasi-populasi kecil yang terisolir. Kondisi itu memaksa mereka harus melakukan perkawinan dengan kerabat mereka sendiri, begitulah menurut sebuah analisis genetika terbaru. Perkawinan antar kerabat/saudara (inbreed) kemungkinan telah menjadi penyebab masalah-masalah kesehatan dan tampaknya populasi yang kecil telah menjadi penghalang dalam perkembangan teknologi kompleks.
Beberapa tahun belakangan ini para pakar genetika telah membaca genom-genom dari manusia-manusia yang telah lama mati dan genom-genom dari kerabat spesies manusia yang telah lama punah, seperti para Neanderthal. David Reich dari Harvard Medical School di Boston saat ini telah berhasil merangkai genom manusia Neanderthal dan spesies manusia lainnya yang telah punah yakni manusia Denisovan hingga ke tingkat akurasi yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia menyajikan hasil penelitiannya itu dalam sebuah pertemuan Royal Society tentang DNA purba di London, tanggal 18 November 2013 yang lalu.
Dengan menggambarkan genom-genom itu sebagai “nyaris tanpa galat”, Reich menyatakan bahwa kedua spesies itu sering melakukan perkawinan antar kerabat akibat populasi mereka yang sedikit. “Populasi manusia purba memiliki keragaman genetika yang rendah, amat sangat rendah,” katanya. “Salah satu keragaman yang terendah di antara organisma dalam kingdom satwa.”
Salah satu manusia Neanderthal yang DNA-nya didapatkan Reich dari sebuah tulang jari kaki hanya punya diversitas genetik sekitar seperdelapan dari genomnya: kedua salinan dari setiap gen bersifat identik. Itu artinya kedua orang tuanya bersaudara tiri.
Hal tersebut cocok dengan bukti-bukti sebelumnya tentang populasi-populasi manusia purba yang kecil, kata Chris Stringer dari Natural History Museum di London. “Di masa lalu, populasi manusia purba mungkin hanya sekitar ribuan atau paling banyak sekitar 10 ribuan jiwa jumlahnya dan mereka terpisah-pisah sehingga mereka hanya bisa bertukar pasangan dengan tetangga-tetangga terdekatnya saja.”
Genom kita masih mewarisi jejak-jejak populasi-populasi kecil ini. Sebuah penelitian di tahun 2010 menyimpulkan bahwa 1,2 juta tahun yang lalu leluhur kita hanya memiliki populasi sebanyak 18.500 jiwa saja yang tersebar di wilayah yang luas (PNAS, doi.org/dv75x8).
Fosil-fosil yang telah ditemukan menunjukkan bahwa perkawinan antar kerabat ini telah memakan banyak korban, kata Erik Trinkaus dari Washington University di St. Louis, Missouri. Pada fosil-fosil yang telah ia teliti, ia menemukan berbagai jenis kecacatan, banyak di antaranya yang sudah jarang dijumpai pada manusia modern. Ia menduga cacat-cacat semacam itu hal yang biasa ditemukan di masa lalu (PloS ONE, doi.org/p6r).
Walaupun sudah ada bukti-bukti mengenai dampak perkawinan antar kerabat itu terhadap kesehatan, tapi masih belum jelas benar apakah perkawinan semacam itu juga yang menjadi penyebab kepunahan manusia-manusia Neanderthal dan Denisovan. Penyebab yang lebih mungkin adalah dampak populasi kecil terhadap budaya dan teknologi. Populasi yang lebih besar akan menguasai lebih banyak pengetahuan dan cara-cara untuk meningkatkan teknologi. “Kebudayaan kumulatif” ini adalah hal yang khas dalam spesies manusia, akan tetapi hanya baru bisa muncul dalam populasi besar yang jumlahnya memadai.
Dalam populasi yang kecil, pengetahuan akan gampang hilang. Hal ini menjelaskan mengapa keterampilan-keterampilan semacam pembuatan alat tulang pernah muncul dan lantas menghilang, kata Trinkaus.
Populasi yang kecil boleh jadi telah menghambat para Neanderthal dan Denisovan untuk mengembangkan kebudayaan kumulatif. “Kondisi tersebut akan membatasi kompleksitas kebudayaan mereka,” ucap Thomas. Hal yang sama juga pernah merintangi spesies kita sampai kemudian spesies kita mencapai jumlah tertentu yang bisa membebaskan daya kebudayaan kita –sebuah titik dimana kemudian tidak ada apapun lagi yang bisa menghentikan kita.
Genom-genom itu juga menunjukkan bahwa spesies-spesies awal manusia juga melakukan perkawinan silang dengan hominin-hominin lainnya (lihat “Kita semua termasuk genus Homo, bukan?”). Banyak di antara kita yang masih membawa gen-gen dari para Neanderthal atau pun dari para Denisovan yang misterius itu (sebab hanya diketahui dari sebuah gua di Siberia).

KITA SEMUA TERMASUK GENUS HOMO, BUKAN?
Hominin-hominin awal tidak terlalu pilih-pilih soal pasangan seksual mereka. Kita sudah mengetahui bahwa spesies kita, Homo sapiens, telah melakukan perkawinan dengan dua spesies hominin lainnya, yakni manusia Neanderthal dan manusia Denisovan.
Penelitian-penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa para Denisovan memang telah melakukan perkawinan antar kerabat di kalangan mereka sendiri. Beberapa bagian dari genom Denisovan tampak lebih tua daripada bagian-bagian lainnya, kata David Reich dari Harvard Medical School. Menurutnya, penjelasan yang paling masuk akal adalah bahwa para Denisovan itu telah melakukan perkawinan dengan spesies yang tidak diketahui dan mendapatkan beberapa DNA dari spesies tersebut. Yang jadi pertanyaan adalah, siapakah spesies itu?
Barangkali ini bisa menjadi bukti adanya spesies hominin baru yang belum pernah dikenal dalam dunia keilmuan. Kemungkinan lainnya, hal itu bisa saja merupakan rekaman genetik pertama dari banyak spesies manusia yang saat ini sudah dikenal. Johannes Krause dari University of Tübingen, Jerman, berpendapat bahwa kemungkinan yang terakhir itulah yang paling mungkin sebab banyak spesies hominin yang telah diidentifikasi melalui fosil mereka namun belum pernah dianalisis secara genetika. 

Kandidat yang paling mungkin adalah Homo heidelbergensis, kata Chris Stringer dari Natural History Museum, London. Spesies ini hidup antara 600.000 dan 250.000 tahun yang lalu dan menyebar dari Afrika ke Eropa dan Asia bagian barat. Itu artinya para Denisovan, yang leluhurnya melewati jalur yang sama dengan mereka, punya kemungkinan yang besar untuk berjumpa dengan mereka.




 

Monday, December 2, 2013

FAJAR SEJATI PERADABAN



Judul Asli: Civilization’s True Dawn
Penulis: David Robson
Source: NewScientist, 5 Oktober 2013, hal. 32-37

Apa yang sebenarnya mendorong nenek moyang kita sehingga mereka meninggalkan sebuah cara hidup yang telah mereka jalankan selama ribuan tahun dan menciptakan cara lain yang sepenuhnya berbeda? David Robson melaporkan.

Göbekli Tepe: Kuil Pertama di dunia di selatan Anatolia
Pada saat tim yang dipimpin oleh Steven Mithen mulai menggali tanah di sebuah gurun, mereka sebenarnya tidak terlalu banyak berharap. “Kami kira tanah itu hanyalah sebuah tumpukan tanah urukan yang tak berguna,” ucap Mithen.
Namun tetap saja, bahkan prospek pencarian dalam tumpukan sampah sekalipun bisa menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Pada awalnya Mithen, seorang arkeolog dari University of Reading, Inggris, hanya mendapatkan pandangan heran dari rekan-rekan sejawatnya ketika ia mengungkapkan niatnya untuk menggali reruntuhan zaman batu di selatan Yordania. “Mereka bilang kami tidak akan menemukan apa-apa di sana –tempat itu adalah tempat terpencil,” kata Mithen. Ia membuktikan bahwa mereka keliru dengan menemukan bekas-bekas sebuah desa primitif. Dengan meneliti di antara sampah-sampah urukan, Mithen berharap akan bisa mendapat gambaran keseharian dari kehidupan yang berlangsung lebih dari 11.000 tahun silam.
Namun pada saat mereka menggali guguran-guguran tanah, salah satu mahasiswanya menemukan sebuah lantai licin yang keras – yang tentunya bukan jenis struktur buatan manusia yang akan dibuang begitu saja ke ujung desa. Kemudian tersingkaplah serangkaian struktur yang ditinggikan berukiran simbol-simbol yang melingkar-lingkar. Semangat pun meningkat. “Semakin hari kami semakin bingung mendapati bahwa struktur tersebut semakin luas, semakin kompleks, dan semakin aneh,” ucap Mithen. “Saya tidak pernah melihat yang seperti ini. Secara harafiah, ini adalah saat di mana semua gagasan Anda berubah.”
Saat ini Mithen mengibaratkan struktur itu seperti semacam amfiteater kecil (lihat gambar). Dengan semacam tempat duduk berjejer di satu sisi bangunan yang mirip lingkaran, tampaknya struktur tersebut dibangun untuk tujuan perayaan atau pertunjukan, mungkin semacam pesta, musik, ritual-ritual, atau sesuatu yang bahkan mengerikan. Sambil menunjuk rangkaian selokan kecil yang menurun melewati lantai, Mithen menduga-duga apakah dulu di tempat itu pernah dilakukan pengorbanan darah di hadapan hiruk pikuk para penonton.

Sunday, December 1, 2013

APAKAH PIKIRAN KITA SAMA ...



Judul asli         : Are You Thinking what I’m Thinking ...
Penulis             : Alison George
Source             : Majalah NewScientist, 23 November 2013



Ledakan munculnya karya seni kompleks di Benua Eropa yang terjadi 40.000 tahun yang lalu pernah dianggap sebagai penanda lahirnya pikiran modern. Tapi kode dari zaman batu justru memperlihatkan adanya kemungkinan lain, kata Alison George.

Pada saat saya meninggalkan terangnya sinar matahari di belakang saya dan memasuki keremangan gua El Castillo di bagian utara Spanyol, barangkali saya hanyalah salah satu dari sekian banyak manusia yang telah memasuki gua itu sepanjang 150.000 tahun terakhir. Setelah sampai di dalam gua, saya berjalan melewati dinding kotor berlumpur setinggi 20 meter sisa-sisa hunian para penghuni gua dan memasuki labirin.
Ruangan pertama yang saya masuki adalah sebuah ruangan yang luas, di dindingnya saya melihat sekilas lukisan sapi-sapi purba, rusa, dan bison. Tapi saya berada di gua ini untuk melihat sesuatu yang lebih misterius: serangkaian tanda-tanda abstrak yang tampak seperti semacam kode dari zaman batu.
Perjalanan saya membawa saya ke sebuah ruangan tersembunyi yang begitu sempit sehingga saya harus menunduk agar tidak merusak gambar-gambar yang ada di atas kepala saya. Gambar-gambar itu tidak seperti gambar mana pun yang pernah saya lihat –seni abstrak yang terdiri dari gambar-gambar persegi besar yang berisikan garis-garis dan titik-titik. Ada gambar palang besar yang terbuat dari titik-titik kecil, ada pula gambar dua persegi yang saling bersilangan dan membentuk sebuah palang. Bentuk-bentuk geometris di gambar-gambar itu begitu rumit sehingga tak sulit untuk menduga bahwa tanda-tanda itu tentulah berisikan semacam informasi (lihat foto).
Tanda-tanda di gua El Castillo
Pemandu saya, seorang arkeolog bernama Genevive von Petzinger, sedang melakukan penelitian di gua ini untuk menyusun katalog bagi tanda-tanda itu dalam rangka memahami pikiran para pembuatnya. Apa yang mendorong orang-orang itu masuk ke kegelapan gua dan menggambar diagram-diagram yang kompleks di dinding gua dengan menggunakan oker? Dan apakah mereka sudah mampu berpikir dengan cara yang sama seperti kita sekarang? “Saya banyak menghabiskan waktu saya untuk membayangkan diri saya sebagai mereka,” kata von Petzinger yang berasal dari University of Victoria, Kanada.
Berumur lebih dari 15.000 tahun, simbol-simbol ini digambar pada masa akhir “Ledakan Kreatif” (creative explosion) yakni sebuah periode yang di dalamnya terjadi penyebaran seni gua dan artefak-artefak simbolis seperti perhiasan-perhiasan dan patung-patung secara luas yang dimulai sekitar 40.000 tahun yang lalu. Transisi yang terjadi pada saat itu dianggap sebagai penanda terjadinya perubahan kognitif yang mendadak –barangkali disebabkan oleh mutasi genetik yang menerpa populasi manusia dan pada akhirnya memunculkan pikiran modern.

Monday, February 20, 2012

Benarkah Iklim Mempengaruhi Evolusi Manusia?


Ketika iklim berubah dan dunia menjadi semakin hangat, apakah manusia akan berevolusi sehingga bisa mengatasi pengaruh perubahan tersebut? Mungkin saja, jika respon orang-orang Yoruba di Afrika Barat terhadap kehidupan di kondisi alam yang kering menggambarkan evolusi yang pernah terjadi pada manusia sebelumnya. Apakah kemudian kita memiliki cukup waktu untuk berevolusi, itu masalah lain.

            Secara historis, orang-orang Yoruba hidup di tengah kondisi alam Sahel yang kering di salah satu penjuru gurun Sahara. Untuk mengetahui apakah orang-orang itu memang mengalami evolusi untuk mengatasi kondisi di sekelilingnya, Andres Moreno dari Stanford University, California, dan kolega-koleganya meneliti variasi sebuah gen yang diketahui memiliki peranan dalam penyimpanan air di dalam ginjal, yang disebut FOXI1, dalam sampel DNA yang diperoleh dari 20 orang Eropa, 20 orang Asia Timur, dan 20 orang Yoruba.
             
Tim peneliti ini menemukan bahwa 85 persen orang Yoruba memiliki sebuah rangkaian informasi genetik yang identik satu sama lain yang lebih panjang daripada rangkaian yang dihasilkan oleh rekombinasi acak maupun pengacakan genetik. Kemudian Tim tersebut mengatakan bahwa rangkaian gen itu merupakan hasil seleksi alamiah (BMC Evolutionary Biology, DOI: 10.1186/1471-2148-10-267).

Panjang tanda genetik itu menunjukkan bahwa perubahan terjadi dalam kurun waktu 10.000 hingga 20.000 tahun, yang berbarengan dengan tahapan awal penggurunan wilayah Sahara. Mereka juga menganalisa wilayah gen dalam 971 sampel yang diambil dari 39 populasi manusia di seluruh dunia, termasuk Yoruba, dan menemukan bahwa rangkaian genetik yang sama juga ditemukan dengan frekuensi yang tinggi di tempat-tempat yang memiliki ketinggian yang lebih rendah. Karena ketinggian yang lebih rendah memiliki peluang menjadi wilayah yang mengalami cekaman air, maka hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang mendorong terjadinya seleksi memiliki kaitan dengan iklim, ujar Moreno.

Meskipun demikian, Steve Jones, seorang pakar genetika dariUniversity College London, menunjukkan bahwa bukti tersebut hanyalah merupakan bukti tidak langsung, sebab kita tidak mengetahui apakah varian genetik dalam masyarakat Yoruba memang benar-benar menjadi pendukung dalam kebertahanan hidup mereka.

Walaupun begitu, jika seandainya penjelasan Moreno memang benar adanya, penelitian ini memunculkan sebuah pertanyaan baru: bisakah manusia berevolusi dalam rangka beradaptasi terhadap perubahan iklim? “Dalam jangka waktu yang panjang, jika Planet Bumi terus menerus menghangat, saya tidak akan heran melihat adanya pergeseran genetika,” ucap pakar genetika antropologis Anne Stone dari Arizona State University di Tempe.

Kendatipun demikian, meramalkan seperti apakah rupa manusia di masa depan adalah hal yang sulit dilakukan sebab akan terdapat berbagai tekanan seleksi yang saling bersaing. Dan hal ini akan menentukan bentuk tubuh manusia. Stephen Stearns, seorang pakar biologi evolusioner dari Yale University, telah menyebutkan bahwa karena wanita yang memiliki bobot tubuh lebih berat dan tinggi badan yang lebih pendek cenderung memiliki lebih banyak anak, yang akan mewarisi ciri gen ibunya, maka kita bisa memperkirakan bahwa rata-rata perempuan di tahun 2049 akan memiliki bentuk tubuh yang lebih pendek dan lebih berat. Namun Stone memprediksikan bahwa karena spesies-spesies yang hidup dalam lingkungan yang panas akan mengembangkan bentuk tubuh yang lebih baik dalam memancarkan panas, maka perubahan iklim akan menyebabkan manusia tumbuh lebih tinggi dan lebih langsing. “Tampaknya kita akan menemukan titik tengah dimana kita mampu mengatasi suhu yang lebih panas namun tetap memiliki lemak yang memadai untuk terus berkembang biak,” ucapnya.

Selain keberhasilan reproduktif, penyebab utama evolusi adalah perbedaan dalam mortalitas. Distribusi penyakit diperkirakan akan berubah ketika bumi semakin panas, misalnya. Kemudahan transportasi/perpindahan dan populasi global bisa berarti bahwa manusia lebih rawan terkena penyakit jika dibandingkan dengan masa-masa lain dalam sejarah evolusi kita, kata Jones. “Jika segala sesuatu tampaknya mengalami evolusi secara cepat, maka gen-lah yang akan memberikan kita pertahanan terhadap penyakit,” imbuhnya.

Meskipun demikian, evolusi adalah sebuah proses yang lambat, jadi adaptasi apapun tidak akan menyelamatkan kita dari masalah-masalah yang tak terhindarkan yang berkaitan dengan perubahan iklim. “Evolusi kita tidak akan menghindarkan kita dari masalah,” kata Jones. “Jawabannya terletak di dalam kepala kita, bukan pada testikel kita.”


BUKTI-BUKTI BAHWA MANUSIA MASIH BEREVOLUSI
Meskipun kita mungkin kelihatan seperti sebuah bentuk yang telah selesai, ada berbagai bukti yang menunjukkan bahwa manusia masih terus berevolusi. John Hawks dari Universiti of Wisconsin-Madison bahkan menyatakan bahwa ledakan populasi dan gaya hidup yang berubah dengan sangat cepat menjadi penyebab saat ini manusia berevolusi secara lebih cepat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bukti-bukti yang mendukung hal ini antara lain:

-          - Otak manusia masih mengalami evolusi.
   Bruce Lahn dari University of Chicago dan teman-teman sejawatnya mengidentifikasi dua gen yang terlibat dalam pengaturan ukuran otak yang menjadi penentu dalam seleksi alam yang saat ini berlangsung.

-          - Kemampuan mencerna susu hanya baru berkembang dalam kurun waktu 7000 tahun belakangan ini, ucap Mark Thomas dari University College London.

-          - Sepanjang waktu, gen-gen untuk anak-anak yang baru lahir akan diseleksi secara alami, demikian menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin Ian Owens dari Imperial College London.

-          - Hanya butuh waktu 3000 tahun bagi orang-orang Tibet untuk beradaptasi dalam kehidupan di dataran tinggi, sebuah tingkat yang memecahkan rekor dalam evolusi, ucap tim Rasmus Nielsen di University of California, Berkeley.


Hak cipta untuk artikel dan gambar ada di tangan majalah NewScientist.
Artikel ini dimuat di majalah NewScientist, 23 Oktober 2010


Tuesday, December 27, 2011

Berita: ÖTZI DIREKONTRUKSI


ÖTZI DIREKONTRUKSI
Para Ilmuwan Menyusun Kembali Manusia Zaman Batu

Ia meninggal 5.300 tahun yang lalu, tapi sekarang sosoknya digambarkan lagi. Namanya diambil dari Ötzal Alps, tempat dia ditemukan. Ötzi adalah mumi manusia Zaman Es Eropa yang tertua yang terawetkan secara alami. Dan sekarang mumi itu direkonstruksi secara lebih akurat dibandingkan sebelumnya, berdasarkan data yang diperoleh melalui CT scan, sinar X, dan analisis DNA. Ötzi mati di jalur sebuah gunung di Italia lalu mayatnya terkubur oleh es. Selama beberapa milenium mayatnya terkubur sampai kemudian dua orang pendaki gunung dari Jerman menemukannya di tahun 1991. Sekarang, dua orang ahli rekonstruksi dari Belanda, Adrie dan Alfons Kennis, telah merekonstruksi Ötzi berdasarkan penelitian terhadap mayatnya dan seperti apa wajah, tangan, dan kaki orang-orang modern jika sebagian besar hidup mereka dilewatkan di luar rumah. Analisis DNA mengungkapkan bahwa mata Ötzi tidak berwarna biru, sebagaimana dikira sebelumnya, tetapi berwarna coklat. Para peneliti memastikan bahwa rambutnya berwarna coklat gelap berdasarkan pengujian pada rambut-rambut yang terawetkan di mayatnya.
Ötzi memiliki tinggi badan 5 kaki 3 inci dan berusia sekitar 46 tahun ketika ia mati akibat luka terkena panah di bahunya. Ada beberapa teori mengenai keadaan saat ia mati di gunung itu. Salah satunya adalah ia dikejar-kejar oleh musuhnya dan dipanah dari belakang, dia jatuh di tempat itu dan mati kehabisan darah. Teori lain mengatakan bahwa ia dibawa ke gunung itu setelah mati untuk dikuburkan. Ada sebuah batu datar yang jaraknya 60 kaki dari tempat mayatnya ditemukan, yang kemungkinan dahulu digunakan dalam upacara pemakaman. Luca Bondioli dari National Museum of Prehistory and Ethnography di Roma menduga bahwa siklus cuaca hangat dan beku bisa memindahkan mayat Ötzi dari tempat semula ia dikubur. Para pendukung teori ini juga menduga bahwa Ötzi memang dibawa ke atas gunung untuk dikubur sebab ia mungkin adalah seseorang yang penting dan memiliki status yang tinggi di masyarakatnya. Karena keadaan saat ia mati adalah keadaan yang bernuansa kejam, para ahli rekonstruksi itu menggambarkan Ötzi dengan ekspresi wajah yang ketakutan dan ngeri alih-alih menggambarkan sosok petualang gunung yang kuat dan tangguh. Mereka juga menggambarkan Ötzi bertelanjang dada untuk memperlihatkan otot-ototnya meskipun sebenarnya ketika mati Ötzi mengenakan pakaian pakaian dari kulit binatang, topi, dan rompi dari rerumputan untuk menahan dinginnya udara pegunungan.


Majalah Science Illustrated edisi Januari-Februari 2012