Ketika iklim
berubah dan dunia menjadi semakin hangat, apakah manusia akan berevolusi
sehingga bisa mengatasi pengaruh perubahan tersebut? Mungkin saja, jika respon orang-orang
Yoruba di Afrika Barat terhadap kehidupan di kondisi alam yang kering menggambarkan
evolusi yang pernah terjadi pada manusia sebelumnya. Apakah kemudian kita
memiliki cukup waktu untuk berevolusi, itu masalah lain.
Secara historis, orang-orang Yoruba hidup
di tengah kondisi alam Sahel yang kering di salah satu penjuru gurun Sahara. Untuk
mengetahui apakah orang-orang itu memang mengalami evolusi untuk mengatasi
kondisi di sekelilingnya, Andres Moreno dari Stanford University, California,
dan kolega-koleganya meneliti variasi sebuah gen yang diketahui memiliki
peranan dalam penyimpanan air di dalam ginjal, yang disebut FOXI1, dalam sampel DNA yang
diperoleh dari 20 orang Eropa, 20 orang Asia Timur, dan 20 orang Yoruba.
Tim peneliti ini menemukan bahwa 85
persen orang Yoruba memiliki sebuah rangkaian informasi genetik yang identik
satu sama lain yang lebih panjang daripada rangkaian yang dihasilkan oleh
rekombinasi acak maupun pengacakan genetik. Kemudian Tim tersebut mengatakan
bahwa rangkaian gen itu merupakan hasil seleksi alamiah (BMC Evolutionary Biology, DOI: 10.1186/1471-2148-10-267).
Panjang
tanda genetik itu menunjukkan bahwa perubahan terjadi dalam kurun waktu 10.000
hingga 20.000 tahun, yang berbarengan dengan tahapan awal penggurunan wilayah
Sahara. Mereka juga menganalisa wilayah gen dalam 971 sampel yang diambil dari
39 populasi manusia di seluruh dunia, termasuk Yoruba, dan menemukan bahwa
rangkaian genetik yang sama juga ditemukan dengan frekuensi yang tinggi di
tempat-tempat yang memiliki ketinggian yang lebih rendah. Karena ketinggian
yang lebih rendah memiliki peluang menjadi wilayah yang mengalami cekaman air,
maka hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang mendorong terjadinya seleksi
memiliki kaitan dengan iklim, ujar Moreno.
Meskipun
demikian, Steve Jones, seorang pakar genetika dariUniversity College London,
menunjukkan bahwa bukti tersebut hanyalah merupakan bukti tidak langsung, sebab
kita tidak mengetahui apakah varian genetik dalam masyarakat Yoruba memang
benar-benar menjadi pendukung dalam kebertahanan hidup mereka.
Walaupun
begitu, jika seandainya penjelasan Moreno memang benar adanya, penelitian ini
memunculkan sebuah pertanyaan baru: bisakah manusia berevolusi dalam rangka
beradaptasi terhadap perubahan iklim? “Dalam jangka waktu yang panjang, jika
Planet Bumi terus menerus menghangat, saya tidak akan heran melihat adanya
pergeseran genetika,” ucap pakar genetika antropologis Anne Stone dari Arizona
State University di Tempe.
Kendatipun
demikian, meramalkan seperti apakah rupa manusia di masa depan adalah hal yang sulit
dilakukan sebab akan terdapat berbagai tekanan seleksi yang saling bersaing.
Dan hal ini akan menentukan bentuk tubuh manusia. Stephen Stearns, seorang
pakar biologi evolusioner dari Yale University, telah menyebutkan bahwa karena
wanita yang memiliki bobot tubuh lebih berat dan tinggi badan yang lebih pendek
cenderung memiliki lebih banyak anak, yang akan mewarisi ciri gen ibunya, maka
kita bisa memperkirakan bahwa rata-rata perempuan di tahun 2049 akan memiliki
bentuk tubuh yang lebih pendek dan lebih berat. Namun Stone memprediksikan
bahwa karena spesies-spesies yang hidup dalam lingkungan yang panas akan
mengembangkan bentuk tubuh yang lebih baik dalam memancarkan panas, maka
perubahan iklim akan menyebabkan manusia tumbuh lebih tinggi dan lebih langsing.
“Tampaknya kita akan menemukan titik tengah dimana kita mampu mengatasi suhu
yang lebih panas namun tetap memiliki lemak yang memadai untuk terus berkembang
biak,” ucapnya.
Selain
keberhasilan reproduktif, penyebab utama evolusi adalah perbedaan dalam
mortalitas. Distribusi penyakit diperkirakan akan berubah ketika bumi semakin
panas, misalnya. Kemudahan transportasi/perpindahan dan populasi global bisa
berarti bahwa manusia lebih rawan terkena penyakit jika dibandingkan dengan
masa-masa lain dalam sejarah evolusi kita, kata Jones. “Jika segala sesuatu
tampaknya mengalami evolusi secara cepat, maka gen-lah yang akan memberikan
kita pertahanan terhadap penyakit,” imbuhnya.
Meskipun
demikian, evolusi adalah sebuah proses yang lambat, jadi adaptasi apapun tidak
akan menyelamatkan kita dari masalah-masalah yang tak terhindarkan yang
berkaitan dengan perubahan iklim. “Evolusi kita tidak akan menghindarkan kita
dari masalah,” kata Jones. “Jawabannya terletak di dalam kepala kita, bukan
pada testikel kita.”
BUKTI-BUKTI BAHWA MANUSIA
MASIH BEREVOLUSI
Meskipun kita
mungkin kelihatan seperti sebuah bentuk yang telah selesai, ada berbagai bukti
yang menunjukkan bahwa manusia masih terus berevolusi. John Hawks dari
Universiti of Wisconsin-Madison bahkan menyatakan bahwa ledakan populasi dan
gaya hidup yang berubah dengan sangat cepat menjadi penyebab saat ini manusia
berevolusi secara lebih cepat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bukti-bukti yang
mendukung hal ini antara lain:
-
- Otak manusia masih mengalami
evolusi.
Bruce
Lahn dari University of Chicago dan teman-teman sejawatnya mengidentifikasi dua
gen yang terlibat dalam pengaturan ukuran otak yang menjadi penentu dalam
seleksi alam yang saat ini berlangsung.
-
- Kemampuan mencerna susu hanya baru
berkembang dalam kurun waktu 7000 tahun belakangan ini, ucap Mark Thomas dari
University College London.
-
- Sepanjang waktu, gen-gen untuk
anak-anak yang baru lahir akan diseleksi secara alami, demikian menurut sebuah
penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin Ian Owens dari
Imperial College London.
-
- Hanya butuh waktu 3000 tahun bagi
orang-orang Tibet untuk beradaptasi dalam kehidupan di dataran tinggi, sebuah
tingkat yang memecahkan rekor dalam evolusi, ucap tim Rasmus Nielsen di
University of California, Berkeley.
Hak cipta untuk artikel dan gambar ada di tangan majalah NewScientist.
Artikel ini dimuat di majalah NewScientist, 23 Oktober 2010