Judul asli : Are You Thinking what I’m Thinking ...
Penulis :
Alison George
Source : Majalah NewScientist, 23 November 2013
Ledakan munculnya karya seni kompleks di Benua Eropa yang terjadi
40.000 tahun yang lalu pernah dianggap sebagai penanda lahirnya pikiran modern.
Tapi kode dari zaman batu justru memperlihatkan adanya kemungkinan lain, kata
Alison George.
Pada saat saya meninggalkan
terangnya sinar matahari di belakang saya dan memasuki keremangan gua El
Castillo di bagian utara Spanyol, barangkali saya hanyalah salah satu dari
sekian banyak manusia yang telah memasuki gua itu sepanjang 150.000 tahun
terakhir. Setelah sampai di dalam gua, saya berjalan melewati dinding kotor
berlumpur setinggi 20 meter sisa-sisa hunian para penghuni gua dan memasuki
labirin.
Ruangan pertama
yang saya masuki adalah sebuah ruangan yang luas, di dindingnya saya melihat
sekilas lukisan sapi-sapi purba, rusa, dan bison. Tapi saya berada di gua ini
untuk melihat sesuatu yang lebih misterius: serangkaian tanda-tanda abstrak
yang tampak seperti semacam kode dari zaman batu.
Perjalanan saya
membawa saya ke sebuah ruangan tersembunyi yang begitu sempit sehingga saya
harus menunduk agar tidak merusak gambar-gambar yang ada di atas kepala saya. Gambar-gambar
itu tidak seperti gambar mana pun yang pernah saya lihat –seni abstrak yang
terdiri dari gambar-gambar persegi besar yang berisikan garis-garis dan
titik-titik. Ada gambar palang besar yang terbuat dari titik-titik kecil, ada
pula gambar dua persegi yang saling bersilangan dan membentuk sebuah palang. Bentuk-bentuk
geometris di gambar-gambar itu begitu rumit sehingga tak sulit untuk menduga
bahwa tanda-tanda itu tentulah berisikan semacam informasi (lihat foto).
Tanda-tanda di gua El Castillo |
Pemandu saya,
seorang arkeolog bernama Genevive von Petzinger, sedang melakukan penelitian di
gua ini untuk menyusun katalog bagi tanda-tanda itu dalam rangka memahami
pikiran para pembuatnya. Apa yang mendorong orang-orang itu masuk ke kegelapan
gua dan menggambar diagram-diagram yang kompleks di dinding gua dengan
menggunakan oker? Dan apakah mereka sudah mampu berpikir dengan cara yang sama
seperti kita sekarang? “Saya banyak menghabiskan waktu saya untuk membayangkan
diri saya sebagai mereka,” kata von Petzinger yang berasal dari University of
Victoria, Kanada.
Berumur lebih
dari 15.000 tahun, simbol-simbol ini digambar pada masa akhir “Ledakan Kreatif”
(creative explosion) yakni sebuah
periode yang di dalamnya terjadi penyebaran seni gua dan artefak-artefak
simbolis seperti perhiasan-perhiasan dan patung-patung secara luas yang dimulai
sekitar 40.000 tahun yang lalu. Transisi yang terjadi pada saat itu dianggap
sebagai penanda terjadinya perubahan kognitif yang mendadak –barangkali disebabkan
oleh mutasi genetik yang menerpa populasi manusia dan pada akhirnya memunculkan
pikiran modern.
Akan tetapi,
tinggalan-tinggalan arkeologis yang tersebar dari Spanyol hingga China, dari
Afrika Selatan sampai Serbia saat ini menunjukkan bahwa bakat manusia akan seni
dan simbolisme telah muncul jauh sebelumnya (lihat peta). “Situs-situs itu
menjungkirbalikkan semua perkiraan Anda, sebab Anda akan menemukan karya-karya
seni yang tadinya diduga tidak akan ada di situs-situs itu,” kata von
Petzinger. Memang, di ruangan lain di El Castillo ada bukti-bukti lukisan yang
bahkan tidak dihasilkan oleh spesies kita. Apabila para peneliti seperti von
Petzinger bisa menemukan faktor-faktor yang memicu munculnya kreativitas ini,
mereka akan mampu menguraikan makna-makna baru dalam tanda-tanda itu sendiri
dan akhirnya kode-kode dari zaman batu itu akan menyingkapkan rahasianya.
Di abad ke-20
lalu, kita hanya punya sedikit pengetahuan tentang apa yang ada dalam benak
leluhur kita. Meskipun karya-karya seni menakjubkan yang ditemukan di gua-gua di
Perancis dan Spanyol tampaknya menunjukkan adanya pikiran yang sepenuhnya
modern, para seniman pendahulu itu diperkirakan belum memiliki sarana dasar
untuk jenis pemikiran abstrak atau pun simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh
antropolog kenamaan Jared Diamond pada tahun 1989, sebelum terjadinya “lompatan
besar ke depan”, manusia tidak lebih dari “monyet babon yang dimuliakan”.
Kendati demikian,
teori lompatan kognitif ini punya kelemahan juga sebab teori ini mengatakan
bahwa peristiwa lompatan itu terjadi setelah leluhur manusia meninggalkan
Afrika sekitar 100.000 tahun yang lalu. Jika seandainya terobosan itu memang
disebabkan oleh mutasi gen di Eropa, bagaimana bisa perubahan itu juga terjadi
pada populasi manusia di Australia, Asia, atau pun Amerika yang telah lama
kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Eropa? Sebuah penjelasan yang jauh
lebih sederhana adalah bahwa leluhur kita telah mengembangkan daya pikir yang
dibutuhkan untuk proses itu sebelum mereka meninggalkan Afrika –sayangnya tidak
ada bukti untuk penjelasan ini.
Situasi ini
berubah dengan ditemukannya serangkaian temuan yang menarik di gua Blombos,
Afrika Selatan. Artefak-artefak seperti manik-manik dari cangkang telur burung
unta dan bongkahan oker yang berukir pola-pola geometris membuat situs-situs
itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda seni simbolis yang 30.000 tahun lebih
awal dan 10.000 kilometer lebih jauh ke selatan dari para seniman pengisi “ledakan
kreatif” di Eropa. Berdasarkan temuan-temuan yang umurnya lebih awal itu,
antropolog Sally McBrearty dan Alison Brooks menulis sebuah makalah berjudul “The Revolution That Wasn’t” (Revolusi
yang tidak pernah terjadi) pada tahun 2000 (Journal
of Human Evolution, vol 39, hal. 453) yang menyerang pandangan “Eropasentris”
atas asal-usul manusia.
Kritik mereka
yang pedas telah menorong para peneliti lain untuk menelaah persoalan asal-usul
pikiran simbolis secara lebih luas dan mendalam, dan dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir ini banyak temuan lama yang dikaji ulang dan juga banyak temuan baru
yang ditemukan. Di antara temuan-temuan yang penting dicatat adalah
cangkang-cangkang telur burung unta dari hunian karang Diepkloof di Afrika
Selatan yang berukir lima pola geometris yang berbeda dan berumur setidaknya
52.000 tahun. Sementara itu, kumpulan cangkang kerang laut di gua Qafzeh di
Israel, dan Grotte des Pigeons di Maroko memperlihatkan bahwa manusia-manusia
spesies modern telah mengoleksi hiasan-hiasan pribadi sejak 80.000 tahun yang
lalu. Dan di antara beberapa temuan dari China, beberapa perhiasan dari gua
atas Zhoukoudian di dekat Beijing, China, yang berumur sekitar 34.000 tahun
lagi-lagi menunjukkan bahwa kelompok-kelompok manusia di berbagai penjuru bumi
sudah bereksperiman dengan berbagai cara yang berbeda dalam berkomunikasi dan
menghias diri mereka sendiri.
Ketika temuan-temuan
yang ada telah mendorong peristiwa munculnya pemikiran abstrak semakin jauh ke
masa yang lebih awal, beberapa arkeolog bahkan mulai mempertanyakan apakah
benar seni dan simbolisme merupakan ciri khas dari Homo sapiens. Lagipula, para Neanderthal punya ukuran otak yang
sama besarnya dengan otak manusia modern –dan sejauh ini kurangnya bukti bisa
jadi disebabkan oleh sifat kebudayaan para spesies tersebut. “Mungkin saja
mereka menggunakan bulu-bulu dan zat warna dari sayuran yang tidak akan
meninggalkan jejak,” kata Francesco d’Errico dari University of Bordeaux,
Perancis.
Tentu saja ada
beberapa petunjuk menarik yang menunjukkan bahwa mereka telah bereksperimen
dengan seni, seperti yang saya lihat sendiri di salah satu ruangan di gua El
Castillo. Dipenuhi dengan titik-titik merah, gambar bison dan juga gambar
tangan benar-benar tampak mengagumkan, tapi saya nyaris melewatkan artefak yang
paling luar biasa: sebuah gambar cakram bercat merah yang nyaris sepenuhnya
tersamarkan oleh sebuah lapisan kalsit yang buram. Analisis kandungan uranium
terhadap kalsit itu menunjukkan bahwa cat itu dibuat setidaknya pada 40.000
tahun yang lalu dan menjadikannya sebagai bukti tertua dalam bentuk lukisan
yang pernah ditemukan di Eropa. Karena pada masa itu spesies manusia modern
baru saja tiba di Eropa, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pembuatnya adalah
para Neanderthal.
Hampir sama
dengan itu, d’Errico telah menemukan bongkah-bongkah zat pewarna mangan dalam
gua di situs Pech de L’Aze di Perancis yang pernah dihuni oleh para
Neanderthal. Dibentuk seperti krayon, bongkah-bongkah itu mungkin pernah
digunakan untuk melukis desain pada tubuh manusia—yang dengan sendirinya
merupakan sebuah perilaku simbolis. “Tidak ada alasan mengapa mereka tidak
mengguratkannya di dinding gua juga,” kata Christopher Henshilwood dari
University of Witwatersrand, Afrika Selatan. Barangkali pada akhirnya mereka
mampu menciptakan karya seni figuratif yang rumit dalam lukisan gua hunian Homo sapiens. “Saya kira mereka sedang
berada di jalur menuju modernitas. Jika saja mereka dapat bertahan hidup,
tentulah menarik untuk melihat seperti apa perkembangannya kemudian,” katanya
lagi.
Hal tersebut
tampaknya cocok dengan temuan-temuan dari gua lain di Perancis, yakni gua
Grotte du Renne yang pernah didiami oleh para Neanderthal. Temuan-temuan itu
pertama kali dilaporkan di tahun 2011. Ada banyak perhiasan, termasuk
diantaranya gigi yang dilubangi yang diduga dipasang pada kalung, juga
pewarna-pewarna dan alat-alat tulang berhias. Kesemuanya itu menunjukkan adanya
sebuah budaya bendawi yang maju, walaupun pihak-pihak yang tidaks setuju dengan
pendapat itu mengatakan bahwa benda-benda itu bisa saja artefak-artefak milik H. sapiens yang tercampur dengan
tinggalan-tinggalan Neanderthal.
Bahkan ada
juga kemungkinan bahwa kerabat yang lebih jauh juga sudah menjadi seniman
pemula. Di Israel, misalnya, para peneliti telah menemukan patung kecil
Berekhat Ram yang berumur 230.000 tahun yang tampilannya dengan patung kecil
Venus (Venus figurine) yang dibuat di
Eropa sekitar 30.000 tahun yang lalu. Patung dari Israel ini bentuknya kasar
dan boleh jadi sebenarnya tidak lebih dari sebuah kerikil yang bentuknya mirip
patung, akan tetapi beberapa analisis mikroskopis menunjukkan adanya bekas-bekas
pengukiran yang disengaja di sekitar leher untuk membentuknya ke dalam proporsi
yang tepat. Jika memang demikian, maka waktu dan lokasi yang ada menunjukkan
bahwa temuan itu dibuat oleh Homo erectus.
Meskipun gagasan itu masih berupa perdebatan, ada rumor yang mengatakan bahwa
tak lama lagi kita mungkin akan melihat beberapa bukti yang lebih dramatis
mengenai perilaku simbolis dari leluhur kita yang telah punah ini.
Riwayat keluarga
Seiring berjalannya waktu,
bukti-bukti yang bersinggungan bisa membantu memperjelas gambaran dari
persoalan ini. Akan butuh waktu lama bagi perubahan perilaku sehingga bisa
meninggalkan jejak dalam rekaman arkeologis, ujar Johan Lind dari Stockholm
University, Swedia, tapi ada cara-cara untuk merekonstruksi kurun-kurun waktu
yang samar-samar itu. Sebagai contoh, banyak peneliti yang saat ini melirik
perangkat lunak yang biasanya digunakan untuk melacak silsilah genetika yang
mengaitkan organisme-organisme yang berbeda. Meskipun perangkat tersebut
dirancang untuk meneliti gen, perangkat ini bisa dimodifikasi untuk merekonstruksi
evolusi tradisi, misalnya perkawinan, berdasarkan temuan-temuan arkeologis dan
catatan-catatan linguistik. Dengan menebarkan jala mereka lebar-lebar, tim yang
dipimpin Lind memasukkan data tentang gen FOXP2
yang diduga berkaitan dengan perkembangan linguistik dan perubahan dalam sistem
vokal, serta petunjuk-petunjuk arkeolodis atas hal-hal seperti pemanfaatan api
dan teknologi alat yang kompleks –ciri-ciri yang seharusnya memiliki landasan
sarana abstrak yang sama dengan yang melahirkan perilaku simbolisme. Dalam makalah
yang diterbitkan di awal tahun ini mereka memperkirakan bahwa pikiran modern
telah muncul setidaknya 170.000 tahun yang lalu, dan bisa jadi sejak 500.000
tahun yang lalu pada leluhur-leluhur seperti Homo erectus. “Tampaknya hal-hal yang menjadi ciri khas manusia
modern ternyata sudah berakar jauh lebih dalam dalam alur evolusi,” ucap Lind.
Apapun kesimpulan
mengenai kemampuan yang dimiliki oleh spesies lain, tampak jelas bahwa
kemampuan berpikir abstrak sudah sejak lama muncul sebelum leluhur kita
meninggalkan Afrika. Namun hal tersebut tidak memecahkan misteri “ledakan
kreatif” dengan karya-karya seni figuratif dan mahluk-mahluk mistisnya. Apa yang
menyebabkan leluhur kita melakukan lompatan dari upaya-upaya awal itu menuju
penciptaan-penciptaan karya yang rumit seperti yang saya lihat di gua El
Castillo?
Salah satu
kemungkinannya adalah bahwa populasi mereka telah mencapai jumlah kritis yang
entah bagaimana mendorong munculnya inovasi –sebuah gagasan yang didukung oleh
temuan-temuan baru yang menunjukkan bahwa para H. sapiens mengalami sebuah ledakan populasi ketika mereka tiba di
benua Eropa. Lagipula kebudayaan yang maju adalah hasil dari beragam inovasi
yang kecil-kecil –dan hal tersebut membutuhkan banyak kepala untuk berpikir dan
mencipta selama bertahun-tahun. “Anda akan butuh banyak budaya untuk bisa
membuat sebuah kebudayaan baru,” kata Lind. Dia mengibaratkan kelompok penyanyi
pop ABBA tidak akan lahir seandainya Anda mengirimkan 100 orang Swedia ke Bulan
pada tahun 1970an.
Ledakan populasi
telah menciptakan lingkungan sosial yang berbeda secara mendasar dimana
orang-orang hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan jaringan sosial
yang lebih luas. Hasilnya adalah tungku tekanan sosial yang menuntut cara yang
berbeda dalam menciptakan identitas bersama dan cara mengkoordinir
kelompok-kelompok yang lebih besar. “Perkembangan simbolis ini menjadi perekat
kebudayaan yang menyatukan orang-orang itu dan memungkinkan mereka untuk berinteraksi
secara konstruktif,” kata Nicholas Conard dari University of Tübingen, Jerman, yang
telah banyak menggali artefak-artefak kuno di wilayah Swabian Alps di negara
itu. “Orang-orang yang menggunakan simbol-simbol itu berkompetisi secara lebih
baik dibandingkan dengan mereka yang tidak.”
Memahami dinamika
yang sedang berubah ini barangkali bisa membantu kita dalam mengkaji ulang
makna dari karya seni. Jika El Castillo, misalnya, dulunya adalah sebuah titik
pertemuan beberapa kelompok yang berbeda, maka hal ini bisa membantu mengartika
persegi-persegi merah yang kompleks di dinding gua itu. “Saya tidak melihat
alasan mengapa persegi-persegi itu bukan tidak mungkin adalah tanda-tanda klan
atau semacam tanda persatuan,” kata von Petzinger. “Secara keseluruhan semua tanda
itu memiliki format yang sama. Dimulai dengan sebuah gambar persegi, kemudian
dibagi ke dalam beberapa bagian, dan kemudian perbedaan-perbedaan nyata mulai
muncul –beberapa bagian ada yang dihiasi dengan arsiran melintang, yang lain
dengan garis-garis atau titik-titik, dan sisanya dibiarkan kosong.” Dengan
demikian, konfigurasi individual menggambarkan keluarga-keluarga atau
kelompok-kelompok, katanya lagi.
Ada banyak
tanda geometris lain di gua-gua di Eropa dan von Petzinger tengah menyelidiki
apakah tanda-tanda itu menjadi semakin kompleks dalam menandai
kelompok-kelompok yang berbeda ketika tekanan sosial diperhitungkan. Ia telah
mendapati bahwa simbol-simbol paling awal cenderung tidak tersusun dengan pola
tertentu, akan tetapi kemudian sekitar 20.000 tahun yang lalu tanda-tanda itu
mulai dikelompok-kelompokkan. Sebagai contoh, ketika saya mengunjungi gua Ojo
Guareña yang ada di
dekat El Castillo saya melihat gambar barisan segitiga yang rapi digambar di
dinding gua itu.
Dorongan ke arah abstraksi
Perubahan perilaku ini mungkin
berkaitan dengan kondisi iklim di puncak zaman es yang terjadi antara 26.000
dan 19.000 tahun yang lalu, ucap von Petzinger, ketika cuaca dingin memaksa
orang-orang untuk pindah ke wilayah selatan. “Tiba-tiba saja mereka tinggal
dalam jarak yang berdekatan satu sama lainnya daripada sebelumnya,” katanya. “Apabila
Anda berhadapan dengan orang-orang asing, Anda perlu mengetahui siapa mereka,
dan juga siapa Anda,” katanya lagi—dan barangkali mereka juga perlu memperluas
perbendaharaan artistik mereka agar bisa memasukkan orang-orang yang jumlahnya
semakin bertambah. Simbol-simbol itu mungkin juga dipakai sebagai tanda-tanda
teritorial sehingga kelompok-kelompok yang baru akan tahu bahwa gua itu telah
dieksplorasi oleh kelompok lain.
Sebuah pendekatan
forensik yang mirip dengan itu barangkali bisa membantu menguraikan makna
tanda-tanda abstrak yang diukir pada ribuan tulang dan tanduk masa Paleolitik –termasuk
di antaranya tanda-tanda garis, tanda pangkat, dan palang. Tanda-tanda itu
sebelumnya diartikan sebagai siklus Bulan, atau semacam sistem perhitungan,
akan tetapi ketika Sarah Evans dari University of Cambridge mencoba menyusun
semacam “kamus” dari tanda-tanda itu, ia mendapati bahwa simbol-simbol dan
benda-benda tertentu acapkali mirip satu sama lain. Contohnya tanda tiga garis
berkelompok yang berbeda muncul pada lissoirs
–yakni alat tulang yang dipakai untuk menghaluskan kulit binatang, tapi tidak
ada pada alat lainnya. Jenis pola yang sistematis ini menunjukkan bahwa hal itu
adalah tradisi yang diajarkan oleh satu orang ke orang lainnya, katanya. Walaupun
memang mungkin juga ukiran-ukiran itu digunakan sebagai alat berhitung,
gaya-gaya ukiran tertentu mungkin bisa membantu menandai keanggotaan dalam
kelompok, ucapnya lagi.
Tanda keanggotaan
semacam itu bisa jadi hal yang penting dalam situasi-situasi tertentu. Jika Anda
berjumpa dengan orang-orang asing yang membawa alat-alat yang berukiran sama
dengan alat yang Anda miliki, Anda akan tahu bahwa mereka berasal dari latar
belakang yang sama dengan Anda dan kemungkinan besar mereka juga akan berpikir
dan berperilaku sama seperti Anda dan hal itu akan memudahkan interaksi Anda
dengan mereka. “Jaringan-jaringan sosial merupakan aspek penting dalam
kehidupan kita,” ujar Evans. “Saya tentu tidak akan mengatakan bahwa
tulang-tulang itu adalah semacam Facebook di zaman mereka, tapi simbol-simbol
itu memang menciptakan keterkaitan di antara orang-orang sehingga memungkinkan
mereka untuk bertahan hidup.”
Tentu saja
faktor-faktor lain juga bisa mendorong terjadinya kemajuan di wilayah-wilayah
lain. D’Errico menduga perkembangan itu muncul dalam bentuk seperti mosaik
dengan gagasan-gagasan seperti lukisan, misalnya, akan muncul dan menghilang sesuai
dengan kondisi setempat. “Tidak ada pola yang sederhana. Inovasi muncul dan
menghilang pada saat populasi-populasi itu menguji eksperimen-eksperimen budaya
mereka.” Bersama dengan Henshilwood, baru-baru ini d’Errico merancang sebuah
proyek penelitian besar bernama Tracsymbol untuk menyelidiki bagaimana iklim
lokal bisa mendorong munculnya inovasi-inovasi perilaku yang penting dan juga
hilangnya inovasi-inovasi itu baik pada manusia modern maupun Neanderthal. Sebagai
contoh, dalam proyek itu mereka mencari tahu apakah perubahan iklim di wilayah
selatan Afrika telah menghentikan budaya orang-orang di sana yang saat itu
sedang berkembang. Jika memang seperti itu yang terjadi, maka ada kemiripan
dengan situasi di Tasmania 14.000 tahun yang lalu ketika peningkatan muka air
laut telah memisahkan pulau tersebut dari Benua Australia dan menyebabkan
penduduknya banyak membuang inovasi-inovasi teknologi.
Meskipun pemahaman
kita atas asal-usul kognisi manusia telah banyak meningkat di tahun-tahun belakangan
ini, kita masih bisa berharap datangnya perkembangan yang lebih besar lagi,
seiring dengan dilakukannya riset genetika yang akan membantu memilah-milah
lebih banyak lagi perbedaan di antara spesies-spesies manusia. “Tidak akan ada
jawaban yang sederhana,” ucap Conard. “Persoalan ini akan jadi rumit, namun
justru itu yang akan membuatnya lebih menarik.”
Kembali ke gua
El Castillo, saya dengan malas meninggalkan gua kecil dengan tanda-tanda
persegi itu untuk menjelajahi wilayah-wilayah lain dari kompleks gua itu. Karya
seni purba adalah hal yang menakjubkan. Bulatan-bulatan besar berwarna merah
berjajar di dinding koridor –saya bertanya-tanya apakah tanda-tanda itu dulunya
berfungsi sebagai tanda jalan? Di tempat lain, sesosok bison yang aneh dipahat
dari formasi batuan dan ketika kami menyodorkan obor ke arah patung tersebut,
siluetnya tampak menari-nari di sepanjang dinding gua. Beberapa peneliti
mengartikannya sebagai semacam teater bayangan (majalah NewScientist, 22 Desember 2012, hal. 44).
Akhirnya saya ke
luar, masuk ke dalam mobil saya dan dengan segera kembali ke Abad 21. Sembari menyetir
di sepanjang pantai menuju Bilbao, saya jadi berpikir, seandainya para manusia
purba itu tidak pernah mengembangkan kemampuan mencoreti dinding gua dengan
desain-desain abstrak itu, barangkali tidak akan ada teknologi-teknologi yang
saat ini mengelilingi saya –mobil, telepon, navigasi satelit—yang akan
ditemukan. Seperti yang dikatakan oleh von Petzinger, “Ada lebih banyak kisah
dalam tanda-tanda geometris itu daripada yang kita bayangkan.”
_____
Alison George adalah seorang opinion editor di majalah New
Scientist
No comments:
Post a Comment