Judul Asli: Interbreeding shaped human evolution
Penulis: Michael Marshall
Sumber: NewScientist, 30
November 2013, hal. 8
Bicara soal
awal yang tidak menguntungkan. Selama ribuan tahun nenek moyang kita hidup
dalam populasi-populasi kecil yang terisolir. Kondisi itu memaksa mereka harus
melakukan perkawinan dengan kerabat mereka sendiri, begitulah menurut sebuah
analisis genetika terbaru. Perkawinan antar kerabat/saudara (inbreed) kemungkinan telah menjadi
penyebab masalah-masalah kesehatan dan tampaknya populasi yang kecil telah
menjadi penghalang dalam perkembangan teknologi kompleks.
Beberapa tahun belakangan ini para pakar genetika telah membaca
genom-genom dari manusia-manusia yang telah lama mati dan genom-genom dari
kerabat spesies manusia yang telah lama punah, seperti para Neanderthal. David Reich
dari Harvard Medical School di Boston saat ini telah berhasil merangkai genom
manusia Neanderthal dan spesies manusia lainnya yang telah punah yakni manusia
Denisovan hingga ke tingkat akurasi yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia menyajikan
hasil penelitiannya itu dalam sebuah pertemuan Royal Society tentang DNA purba
di London, tanggal 18 November 2013 yang lalu.
Dengan menggambarkan genom-genom itu sebagai “nyaris tanpa galat”,
Reich menyatakan bahwa kedua spesies itu sering melakukan perkawinan antar
kerabat akibat populasi mereka yang sedikit. “Populasi manusia purba memiliki
keragaman genetika yang rendah, amat sangat rendah,” katanya. “Salah satu
keragaman yang terendah di antara organisma dalam kingdom satwa.”
Salah satu manusia Neanderthal yang DNA-nya didapatkan Reich dari
sebuah tulang jari kaki hanya punya diversitas genetik sekitar seperdelapan
dari genomnya: kedua salinan dari setiap gen bersifat identik. Itu artinya
kedua orang tuanya bersaudara tiri.
Hal tersebut cocok dengan bukti-bukti sebelumnya tentang
populasi-populasi manusia purba yang kecil, kata Chris Stringer dari Natural
History Museum di London. “Di masa lalu, populasi manusia purba mungkin hanya
sekitar ribuan atau paling banyak sekitar 10 ribuan jiwa jumlahnya dan mereka
terpisah-pisah sehingga mereka hanya bisa bertukar pasangan dengan
tetangga-tetangga terdekatnya saja.”
Genom kita masih mewarisi jejak-jejak populasi-populasi kecil ini. Sebuah
penelitian di tahun 2010 menyimpulkan bahwa 1,2 juta tahun yang lalu leluhur
kita hanya memiliki populasi sebanyak 18.500 jiwa saja yang tersebar di wilayah
yang luas (PNAS, doi.org/dv75x8).
Fosil-fosil yang telah ditemukan menunjukkan bahwa perkawinan antar
kerabat ini telah memakan banyak korban, kata Erik Trinkaus dari Washington
University di St. Louis, Missouri. Pada fosil-fosil yang telah ia teliti, ia
menemukan berbagai jenis kecacatan, banyak di antaranya yang sudah jarang
dijumpai pada manusia modern. Ia menduga cacat-cacat semacam itu hal yang biasa
ditemukan di masa lalu (PloS ONE,
doi.org/p6r).
Walaupun sudah ada bukti-bukti mengenai dampak perkawinan antar kerabat
itu terhadap kesehatan, tapi masih belum jelas benar apakah perkawinan semacam
itu juga yang menjadi penyebab kepunahan manusia-manusia Neanderthal dan
Denisovan. Penyebab yang lebih mungkin adalah dampak populasi kecil terhadap
budaya dan teknologi. Populasi yang lebih besar akan menguasai lebih banyak
pengetahuan dan cara-cara untuk meningkatkan teknologi. “Kebudayaan kumulatif” ini
adalah hal yang khas dalam spesies manusia, akan tetapi hanya baru bisa muncul
dalam populasi besar yang jumlahnya memadai.
Dalam populasi yang kecil, pengetahuan akan gampang hilang. Hal ini
menjelaskan mengapa keterampilan-keterampilan semacam pembuatan alat tulang
pernah muncul dan lantas menghilang, kata Trinkaus.
Populasi yang kecil boleh jadi telah menghambat para Neanderthal dan
Denisovan untuk mengembangkan kebudayaan kumulatif. “Kondisi tersebut akan
membatasi kompleksitas kebudayaan mereka,” ucap Thomas. Hal yang sama juga
pernah merintangi spesies kita sampai kemudian spesies kita mencapai jumlah
tertentu yang bisa membebaskan daya kebudayaan kita –sebuah titik dimana
kemudian tidak ada apapun lagi yang bisa menghentikan kita.
Genom-genom itu juga menunjukkan bahwa spesies-spesies awal manusia
juga melakukan perkawinan silang dengan hominin-hominin lainnya (lihat “Kita
semua termasuk genus Homo, bukan?”).
Banyak di antara kita yang masih membawa gen-gen dari para Neanderthal atau pun
dari para Denisovan yang misterius itu (sebab hanya diketahui dari sebuah gua
di Siberia).
KITA SEMUA TERMASUK GENUS HOMO, BUKAN?
Hominin-hominin
awal tidak terlalu pilih-pilih soal pasangan seksual mereka. Kita sudah
mengetahui bahwa spesies kita, Homo
sapiens, telah melakukan perkawinan dengan dua spesies hominin lainnya,
yakni manusia Neanderthal dan manusia Denisovan.
Penelitian-penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa para Denisovan
memang telah melakukan perkawinan antar kerabat di kalangan mereka sendiri. Beberapa
bagian dari genom Denisovan tampak lebih tua daripada bagian-bagian lainnya,
kata David Reich dari Harvard Medical School. Menurutnya, penjelasan yang
paling masuk akal adalah bahwa para Denisovan itu telah melakukan perkawinan
dengan spesies yang tidak diketahui dan mendapatkan beberapa DNA dari spesies
tersebut. Yang jadi pertanyaan adalah, siapakah spesies itu?
Barangkali ini bisa menjadi bukti adanya spesies hominin baru yang
belum pernah dikenal dalam dunia keilmuan. Kemungkinan lainnya, hal itu bisa
saja merupakan rekaman genetik pertama dari banyak spesies manusia yang saat ini
sudah dikenal. Johannes Krause dari University of TΓΌbingen, Jerman, berpendapat bahwa kemungkinan yang
terakhir itulah yang paling mungkin sebab banyak spesies hominin yang telah
diidentifikasi melalui fosil mereka namun belum pernah dianalisis secara
genetika.
Kandidat yang paling mungkin adalah Homo
heidelbergensis, kata Chris Stringer dari Natural History Museum, London.
Spesies ini hidup antara 600.000 dan 250.000 tahun yang lalu dan menyebar dari
Afrika ke Eropa dan Asia bagian barat. Itu artinya para Denisovan, yang
leluhurnya melewati jalur yang sama dengan mereka, punya kemungkinan yang besar
untuk berjumpa dengan mereka.
No comments:
Post a Comment