Monday, December 2, 2013

FAJAR SEJATI PERADABAN



Judul Asli: Civilization’s True Dawn
Penulis: David Robson
Source: NewScientist, 5 Oktober 2013, hal. 32-37

Apa yang sebenarnya mendorong nenek moyang kita sehingga mereka meninggalkan sebuah cara hidup yang telah mereka jalankan selama ribuan tahun dan menciptakan cara lain yang sepenuhnya berbeda? David Robson melaporkan.

Göbekli Tepe: Kuil Pertama di dunia di selatan Anatolia
Pada saat tim yang dipimpin oleh Steven Mithen mulai menggali tanah di sebuah gurun, mereka sebenarnya tidak terlalu banyak berharap. “Kami kira tanah itu hanyalah sebuah tumpukan tanah urukan yang tak berguna,” ucap Mithen.
Namun tetap saja, bahkan prospek pencarian dalam tumpukan sampah sekalipun bisa menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Pada awalnya Mithen, seorang arkeolog dari University of Reading, Inggris, hanya mendapatkan pandangan heran dari rekan-rekan sejawatnya ketika ia mengungkapkan niatnya untuk menggali reruntuhan zaman batu di selatan Yordania. “Mereka bilang kami tidak akan menemukan apa-apa di sana –tempat itu adalah tempat terpencil,” kata Mithen. Ia membuktikan bahwa mereka keliru dengan menemukan bekas-bekas sebuah desa primitif. Dengan meneliti di antara sampah-sampah urukan, Mithen berharap akan bisa mendapat gambaran keseharian dari kehidupan yang berlangsung lebih dari 11.000 tahun silam.
Namun pada saat mereka menggali guguran-guguran tanah, salah satu mahasiswanya menemukan sebuah lantai licin yang keras – yang tentunya bukan jenis struktur buatan manusia yang akan dibuang begitu saja ke ujung desa. Kemudian tersingkaplah serangkaian struktur yang ditinggikan berukiran simbol-simbol yang melingkar-lingkar. Semangat pun meningkat. “Semakin hari kami semakin bingung mendapati bahwa struktur tersebut semakin luas, semakin kompleks, dan semakin aneh,” ucap Mithen. “Saya tidak pernah melihat yang seperti ini. Secara harafiah, ini adalah saat di mana semua gagasan Anda berubah.”
Saat ini Mithen mengibaratkan struktur itu seperti semacam amfiteater kecil (lihat gambar). Dengan semacam tempat duduk berjejer di satu sisi bangunan yang mirip lingkaran, tampaknya struktur tersebut dibangun untuk tujuan perayaan atau pertunjukan, mungkin semacam pesta, musik, ritual-ritual, atau sesuatu yang bahkan mengerikan. Sambil menunjuk rangkaian selokan kecil yang menurun melewati lantai, Mithen menduga-duga apakah dulu di tempat itu pernah dilakukan pengorbanan darah di hadapan hiruk pikuk para penonton.

Amfiteater di Wadi Faynan, bukti arsitektur monumental berumur 11.600 tahun
Apapun yang pernah terjadi di tempat itu, yang kini disebut Wadi Faynan, situs ini bisa mengubah pemahaman kita atas masa lalu. Dengan umur 11.600 tahun, struktur ini mendahului cara hidup bertani, dengan kata lain, orang-orang membangun amfiteater ini sebelum mereka menemukan pertanian.
Seharusnya bukan seperti itu yang terjadi. Sudah lama para arkeolog familier dengan gagasan yang disebut “Revolusi Neolitik” yang di dalamnya manusia meninggalkan gaya hidup nomaden (berpindah-pindah) yang telah berlangsung dengan baik selama ribuan tahun untuk kemudian tinggal permanen sebagai masyarakat agraris. Manusia mendomestikasi tanaman dan hewan serta menciptakan sebuah cara kehidupan yang baru (kata “neolitik” berarti “zaman batu yang baru”).
Sekitar 8.300 tahun yang lalu orang-orang di Levant (saat ini termasuk wilayah dari Suriah, Lebanon, Yordania, Israel, dan selatan Anatolia) sudah menguasai paket lengkap teknologi neolitik: desa-desa permanen dengan bangunan-bangunan komunal, gerabah-gerabah, hewan-hewan yang sudah didomestikasi, biji-bijian, dan polong-polongan. Seni, politik, dan astronomi juga punya akar di periode masa tersebut. “Ini merupakan pergeseran paling penting dalam sejarah,” kata Jens Notroff dari German Archaeological Institute di Berlin.
Walaupun demikian, tetap ada permukiman yang berumur lebih dari 3.000 tahun dan memperlihatkan banyak inovasi neolitik namun tidak menunjukkan adanya teknologi yang semestinya menjadi awal dari semuanya yakni teknologi pertanian. Orang-orang yang membangun Wadi Faynan bukanlah masyarakat nomaden, namun mereka juga bukan petani. Ada kemungkinan bahwa mereka nyaris sepenuhnya menggantungkan hidup mereka pada berburu dan mengumpulkan makanan.
Penemuan-penemuan monumental
Dengan demikian, bukannya pertanian, tapi justru ada semacam faktor pendorong lain yang tampaknya telah mendorong orang-orang tersebut untuk tinggal di sana—yakni hal-hal seperti agama, kebudayaan, dan pesta. Soal keuntungan praktis dari suplai makanan yang stabil jangan terlalu dipusingkan; benih-benih peradaban boleh jadi disemai oleh hal-hal yang lebih berkaitan dengan pemikiran.
Di abad ke-20, sebagian besar pandangan kita mengenai masa Neolitik dilakukan melalui kacamata perubahan sosial yang lebih belakangan terjadi yakni Revolusi Industri. Sebagian dari gagasan ini dicetuskan oleh arkeolog beraliran Marxist bernama Vere Gordon Childe. Karena ia melihat masyarakat kota yang berkembang di sekitar menara-menara pabrik dan “penggilingan-penggilingan milik iblis yang jahat”, Childe menduga bahwa industri mungkin telah menjadi media tumbuh bagi perubahan sosial dan kultural yang berlangsung dengan cepat.

Dorongan menuju kondisi ekstrim
Childe mengusulkan bahwa hal tersebut dimulai di Levant sekitar 10.000 tahun yang lalu. Pada saat zaman es berakhir, wilayah tersebut menjadi lebih kering dan hanya menyisakan jalur-jalur kecil lahan subur di tepian sungai. Dengan hanya sedikit tempat untuk mengumpulkan makanan, para pemburu dan pengumpul makanan menyadari bahwa menanam barley dan gandum di satu tempat yang tetap merupakan upaya yang efisien. Setelah itu, terjadilah ledakan populasi. Seperti yang ditulis oleh Childe dalam bukunya Man Makes Himself (1963): “Jika ada lebih banyak mulut untuk diberi makan, maka akan ada lebih banyak pula tangan untuk membajak lahan ... anak-anak kecil bisa membantu menyiangi lahan dan menakut-nakuti burung-burung.” Dan pada saat tanaman para petani dan keluarganya itu berbunga, maka berkembang pula kerajinan mereka, termasuk pertukangan kayu dan pembuatan gerabah, serta kompleksitas sosial yang lebih besar ketika kelompok itu mengorganisir aktivitas mereka di sekitar pekerjaan mereka. Masyarakat yang sedang tumbuh itu juga akan mempersiapkan lahan yang subur tempat tumbuhnya bentuk keagamaan yang lebih terorganisir.
Setidaknya, begitulah teorinya. Man Makes Himself telah menjadi acuan bagi banyak arkeolog—bahkan ketika retakan-retakan mulai tampak dalam beberapa asumsinya. Penelitian mengenai iklim, misalnya, menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi setelah zaman es tidak seradikal seperti yang diyakini Childe. Tanpa dorongan lingkungan, pertanian disangsikan bisa memberikan keuntungan. Apalagi apabila Anda hanya punya sedikit perut untuk diisi, mengambil makanan dari alam sama efisiennya dengan usaha menanam, menyiangi, dan memanen tanaman yang melelahkan. Jadi, mengapa harus susah payah berubah?
Pada tahun 1990-an, retakan-retakan itu menjadi jurang yang dalam, setelah penggalian di Anatolia, Turki, dilakukan. Wilayah ini sudah lama menarik perhatian karena situs Nevali Cori yang berumur sekitar 10.000 tahun. Walaupun tampaknya situs ini merupakan sebuah pemukiman proto-petani yang sederhana, para arkeolog juga menemukan tanda-tanda dari kebudayaan yang lebih maju di situs itu yang mewujud dalam serangkaian “bangunan pemujaan” komunal yang dipenuhi oleh karya-karya seni yang menyeramkan.
Untuk tinggalan yang begitu tua, bangunan itu luar biasa besar dan kompleks, dan apa yang ada pada bangunan itu bahkan lebih menarik lagi. Sebuah pahatan menggambarkan seekor ular yang sedang melingkari kepala seseorang; pahatan lain memperlihatkan seekor burung pemangsa sedang bertengger di kepala dua orang kembar. Fitur yang paling mencolok mata adalah sekumpulan batu besar yang berbentuk huruf “T” yang antromorfik dengan kepala-kepala membujur tanpa wajah dan tangan manusia diukir di kedua sisinya. Apabila orang duduk di bangku yang mengelilingi tembok bangunan, monumen-monumen itu akan membayangi mereka seperti layaknya para penjaga.

Masyarakat yang hilang
Sayangnya situs ini tenggelam ketika bendungan Atatürk dibangun melintasi sungai Eufrat. Untungnya ada seorang arkeolog bernama Klaus Schmidt yang mulai menjelajahi wilayah-wilayah pedesaan di sekitar sungai itu untuk mencari petunjuk-petunjuk lanjutan mengenai asal-usul masyarakat yang hilang itu. Dalam penjelajahannya ia tiba di sebuah bukit bernama Göbekli Tepe. Bukit berumput itu sebelumnya sudah terkenal sering dikunjungi oleh para penduduk setempat karena di bukit itu ada “pohon ajaib” yang konon bisa mengabulkan keinginan, namun yang benar-benar menarik perhatian Schmidt adalah sepotong batugamping besar yang sangat mirip dengan megalit berbentuk huruf T di Nevali Cori.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ia telah menjumpai sesuatu yang luar biasa. Terkubur di bawah bukit itu, ia menemukan tiga lapisan tinggalan. Yang paling tua dan paling mengesankan berumur lebih dari 11.000 tahun dengan labirin “tempat sakral” berbentuk lingkaran yang ukuran diameternya mencapai 30 meter. Di sekitar tembok bagian dalam terdapat monumen-monumen berbentuk huruf T mengelilingi dua pilar yang lebih besar, seperti umat yang mengelilingi dewa mereka. “Kelihatannya mereka ada di mana-mana,” kata Notroff, salah satu kolega Schmidt.
Beberapa di antara monumen itu berukir sabuk dan jubah dengan ukuran yang monumental –sekitar tiga kali tinggi manusia modern—dan penampilan yang abstrak, Schmidt menginterpretasikan batu-batu itu sebagai penggambaran semacam figur dewa-dewa. Batu-batu lain memiliki ukuran-ukiran hewan-hewan yang aneh seperti ular, kalajengking, dan hyena. Bagi Schmidt, gambar-gambar tersebut mengingatkan dia pada adegan mengerikan dalam Inferno buatan Dante.
Batu "portal" di Gobekli Tepe
Apabila Nevali Cori ibarat sebuah gereja kecil yang sederhana, maka Göbekli Tepe adalah sebuah katedral. Anehnya setiap wilayah sakral tampaknya pernah dibongkar dan kemudian diisi lagi—barangkali sebagai bagian dari sebuah ritual. Di tengah-tengah tumpukan reruntuhan, tim pimpinan Schmidt menemukan banyak tulang belulang, di antaranya adalah tulang manusia. Tim Schmidt juga menjumpai burung gagak, jenis burung yang tertarik pada bangkai, dalam jumlah yang banyak. Karena itulah Schmidt yakin bahwa beberapa fungsi dari bangunan itu mungkin sebagai pusat kematian.
Kita tidak akan pernah tahu apa yang telah terjadi di tempat itu, tapi Schmidt punya beberapa dugaan. Sedari awal ia sudah tertarik pada semacam batu berlubang aneh yang dijumpainya di dalam tempat sakral itu dan sering dihiasi dengan gambar-gambar pemangsa dan mangsanya yang menakutkan. Karena lubang di tengah-tengah batu itu besarnya seukuran manusia, Schmidt membayangkan dulu para pengunjung ke tempat itu merangkak melewatinya untuk menyimbolkan perjalanan menuju akhirat.
Jelaslah bahwa Göbekli Tepe merupakan ciptaan sebuah masyarakat yang telah maju yang mampu mengatur pekerja-pekerja yang jumlahnya mungkin mencapai ratusan orang. “Hal itu menunjukkan adanya pengorganisasian dan kerjasama,” ucap Notroff. “Tingkat kompleksitas sosial semacam itu sebelumnya tidak pernah diperkirakan bisa muncul di masa awal kebudayaan Neolitik.”
Bersama dengan karya seni kompleks dan ideologi yang rumit, perkembangan semacam ini semestinya muncul setelah pertanian. Walaupun begitu, Schmidt tidak berhasil menemukan tanda-tanda adanya pertanian. Jagung yang sudah didomestikasi bisa dibedakan dari nenek moyang liarnya melalui bentuk tongkolnya yang bulat, itu pun tidak ditemukan di tempat itu. Yang juga aneh, tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai keberadaan jenis permukiman permanen apa pun di Göbekli Tepe. Schmidt mengatakan bahwa lokasi tempat itu terlalu jauh dari suplai air dan ia hanya menemukan sedikit bukti saja dari keberadaan tungku, api unggun, atau alat-alat yang biasa ditemukan dalam hunian.
Schmidt mengambil kesimpulan radikal. Ia mengusulkan bahwa Göbekli Tepe adalah situs ziarah yang kemungkinan merupakan puncak dari tradisi berkumpul dan melakukan perayaan yang sebelumnya telah lama berlangsung. Yang lebih penting, ideologilah, bukannya pertanian, yang menarik orang-orang itu untuk berkumpul membentuk sebuah masyarakat yang lebih besar.
Memang mungkin ada kebutuhan untuk memberi makan banyak orang dalam perkumpulan semacam itu yang pada akhirnya memunculkan pertanian –yang kemudian menjadi awal Revolusi Neolitik di tempat itu. “Ritual-ritual dan pesta-pesta boleh jadi mendorong orang-orang untuk berkumpul dalam kondisi tertentu di tempat tertentu,” ucap Notroff. “Boleh jadi sumber-sumber dan teknik pengolahan makanan sedang dijelajahi untuk memenuhi permintaan itu.” Kabarnya penelitian genetika baru-baru ini menunjukkan tempat awal gandum domestik berada dekat dengan Göbekli Tepe.
Kemungkinan lain, pertanian bisa jadi merupakan produk sampingan yang tidak disengaja dari perkumpulan-perkumpulan sosial dimana sejumlah besar tanaman pangan liar dikonsumsi dan biji-bijinya ada yang jatuh ke tanah sehingga memunculkan siklus kultivasi yang tidak disengaja. “Dugaan saya adalah bahwa tanaman-tanaman yang terdomestikasi jatuh ke tanah karena ketidaksengajaan akibat eksploitasi yang intensif terhadap tanaman-tanaman liar yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan komunal,” ucap Mithen. Saat ini beberapa peneliti berpendapat bahwa domestikasi hewan pun, terutama sapi liar, juga punya akar yang lebih spiritual ketimbang faktor ekonomi (lihat “Sapi Keramat”).
Temuan-temuan Schmidt telah mencengangkan para arkeolog dan menarik perhatian dunia yang lebih luas. “Kuil Pertama di Dunia” itu dengan segera menarik gerombolan-gerombolan peziarah baru, para pembuat film, arkeolog, dan turis-turis yang datang berduyun-duyun. “Ini luar biasa,” kata George Wilcox dari Archéorient Laboratory of the French National Centre for Scientific Research di Jalès yang pernah mengunjungi situs itu. “Orang-orang tidak percaya bahwa situs itu berasal dari masa Neolitik.”
Beberapa peneliti masih merasa ragu. Apabila perilaku penduduk asli adalah secara berkala mengubur tempat keramat mereka itu, maka itu artinya selalu ada kemungkinan tinggalan-tinggalan lama akan tergali dan menutupi monumennya, dan bukan urukan baru. Hal tersebut akan mengubah wajah kuil itu selama ratusan bahkan ribuan tahun dan membuat monumen tersebut tidak terlalu revolusioner.
Yang lainnya meragukan klaim Schmidt yang mengatakan bahwa Göbekli Tepe adalah situs ziarah dan bukannya situs permukiman permanen. “Saya pikir bukti-buktinya lemah,” kata Edward Banning dari University of Toronto, Kanada. Ambillah misalnya soal ketiadaan pasokan air, Banning menunjukkan bahwa sungai-sungai dan mata air-mata air yang pernah mengairi situs itu kemungkinan sudah lama mengering tanpa meninggalkan jejak. Sedangkan mengenai karya-karya seni yang luar biasa boleh jadi hanyalah dekorasi-dekorasi rumah semata. “Memiliki rumah yang berhiaskan simbol-simbol bukanlah hal yang mustahil,” katanya –lihatlah orang-orang sekarang yang menggantungkan salib dan lambang-lambang keagamaan di dapur mereka.
Bantahan semacam itu tidak serta merta mematahkan teori Schmidt yang lebih luas mengenai kebudayaanlah, bukan pertanian, yang telah mendorong perjalanan kita menuju peradaban. “Saya pikir kita patut mempertimbangkan bahwa perubahan-perubahan sosial dan ideologis memang memiliki peran yang penting,” ucap Banning. Namun jelas bahwa untuk memperluas teori tersebut, para arkeolog perlu melakukan penelitian lebih lanjut.

Ideologi sebelum mata pencaharian
Untunglah, penelitian lanjutan itu membuahkan hasil tidak lama setelah Göbekli Tepe ditemukan. Sedikit ke hilir sungai Eufrat, menyeberangi perbatasan Suriah, para peneliti dari Perancis menemukan tiga desa yang berasal dari masa Neolitik awal yang bernama Dja’De, Tell’abr, dan Jerf el-Ahmar. Meskipun ketiganya jelas-jelas lebih merupakan permukiman permanen ketimbang tempat ziarah, ketiganya memiliki bangunan-bangunan komunal besar yang sarat hiasan dan tampaknya merupakan hasil budaya ritualistik yang sama dengan yang ada di Göbekli Tepe.
Karena perang saudara di Suriah, desa-desa itu sekarang menjadi sulit diakses – untunglah Wilcox sudah berhasil mengayak bekas-bekas biji-bijian yang berada dalam gerabah-gerabah dan tungku di Jerf el-Ahmar. Ia mendapati bahwa para penduduk asli desa itu dulu masih mengumpulkan berbagai macam biji-bijian dan miju-miju liar. Meskipun demikian, di lapisan paling atas, beberapa spesies tanaman terlihat mulai mendominasi – salah satu diantaranya kelak akan didomestikasi. Anda juga akan menemukan bukti-bukti keberadaan tanaman pangan impor yang tidak mungkin tumbuh secara alami di wilayah tersebut. Jadi, penduduk Jerf el-Ahmar kemungkinan bercocok tanam pada tahap-tahap akhir masa tinggal mereka. Bagaimanapun juga, poin yang terpenting adalah bahwa mereka telah mulai membangun masyarakat yang kompleks jauh sebelum mereka melakukan domestikasi tanaman pangan.
“Amfiteater” di Wadi Faynan, Yordania, yang pertama kali digali oleh Mithen di tahun 2010, menceritakan sebuah kisah yang sama namun di lokasi yang jauh ke selatan. Dengan sebuah area lantai nyaris seluas 400 meter persegi—atau sekitar dua kali lapangan tenis—struktur ini merupakan salah satu struktur kuno terbesar yang ditemukan setelah Göbekli Tepe. Amfiteater ini juga dikelilingi oleh semacam ruang-ruang berbentuk sarang lebah yang diduga oleh Mithen dulunya adalah semacam bengkel-bengkel seni.
Yang lebih penting, tinggalan-tinggalan itu masih berada dalam lapisan-lapisan budaya yang rapi sehingga memungkinkan para arkeolog untuk menentukan umur situs itu secara pasti yakni 11.600 tahun, persis di fajar masa Neolitik. Sejauh ini, Mithen baru menemukan berbagai macam buah ara, barley, dan kacang pistachio di lapisan terbawah, atau yang tertua, yang menunjukkan bahwa penduduk awal Wadi Faynan adalah masyarakat pemburu dan pengumpul makanan.
Yang paling mengejutkan adalah bahwa Wadi Faynan terletak ratusan kilometer dari situs-situs lainnya. “Hal ini menunjukkan bahwa sebuah masyarakat kompleks pernah berkembang di wilayah Levant yang lebih luas pada saat itu,” kata Mithen. Lebih jauh ke timur juga terdapat arsitektur monumental yang keberadaannya mendahului pertanian dan kemungkinan memiliki fungsi ritualistik (lihat “Menara Kekuasaan”). Mithen dan beberapa arkeolog lainnya kini menduga bahwa seluruh wilayah itu adalah sebuah wilayah “eksperimentasi sosial”.
Desa Neolitik Nevali Cori tenggelam ketika sungai Eufrat dibendung
Apabila temuan-temuan ini bisa membantu menulis ulang salah satu bab dari masa Neolitik, maka masih banyak halaman kosong yang harus diisi. Wadi Faynan dan Göbekli Tepe tentulah merupakan hasil dari sebuah perjalanan panjang –jadi kapan mereka mulai melakukan langkah pertamanya, dan mengapa? Kita mungkin harus menggali lebih dalam ke masa lalu untuk menemukan jawabannya. Di sekitar tepian Laut Galilee di Israel dan di sepanjang perbatasan di Yordania, para arkeolog telah menggali fondasi-fondari gubuk-gubuk yang terbuat dari belukar dan lumpur yang berasal dari 20.000 tahun yang lalu. Dari sisa-sisa tanaman yang berpencaran di situs itu, tampaknya tempat-tempat itu pernah ditinggali oleh banyak orang, kemungkinan juga dalam kurun waktu yang lama, yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan uji coba cara hidup yang baru pada masa itu.
Sebagaimana juga diduga pernah ada pertemuan-pertemuan besar di Göbekli Tepe, situs-situs hunian ini juga diduga pernah dipakai sebagai titik pertemuan oleh berbagai suku yang berbeda dari berbagai penjuru wilayah dan masing-masing suku meninggalkan tanda keberadaan mereka dengan jejak yang khas dari zaman batu. Dan keterhubungan mereka boleh jadi telah merentang jauh dan luas: situs di Yordania, Kharaneh IV, berisi timbunan-timbunan kecil beragam kulit kerang yang berasal dari Laut Tengah, Laut Merah, dan Samudera Hindia. “Kami tahu jaringan interaksi berskala besar ini merupakan hal yang umum dijumpai di periode Neolitik dan sekarang ini situs-situs semacam itu dengan jelas menunjukkan bahwa jaringan-jaringan sudah ada jauh lebih awal,” ucap Lisa Maher dari University of California, Berkeley, yang telah meneliti situs-situs di Yordania itu.
Mungkinkah pertemuan-pertemuan awal ini telah mendorong terjadinya perubahan budaya? “Dalam sebuah kelompok besar, Anda perlu membangun sebuah identitas kolektif,” kata Trevor Watkins dari University of Edinburg—kalau tidak begitu, pertemuan itu tidak akan kuat dan segera bubar. “Dan jalan terbaik untuk melakukan itu adalah melalui perayaan-perayaan, ritual-ritual, dan simbol-simbol.” Dengan begitu, pertemuan-pertemuan sosial itu bisa menjadi penyebab perubahan budaya.
Ada juga cara lainnya: budaya bisa mendorong kita mencari orang lain untuk berbagi gagasan dan memelihara tradisi kita. “Karena alasan yang sama saya tinggal dekat Edinburgh,” kata Watkins. “Kami punya banyak musik, teater, pengarang, dan dari sudut pandang saya, banyak arkeolog yang bisa diajak berbincang.” Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa rasa ingin berbagi dan berkomunikasi akan lebih kecil di masa prasejarah.
Kepala berukiran ular dari Nevali Cori
Jadi barangkali masa Neolitik muncul ketika komunitas-komunitas dan budaya-budaya berkembang bersama-sama melalui sebuah siklus yang berlangsung secara terus-menerus. Hanya sebuah kebetulan bahwa dengan sebuah iklim yang mendukung dan melimpahnya makanan liar, masyarakat yang sedang bangkit ini juga bisa menemukan sebuah jalan baru untuk mengeksploitasi lahan guna memberi makan populasi mereka yang sedang meledak. Kira-kira 8.000 tahun yang lalu mereka mulai menjelajahi padang rumput, membawa serta benih-benih tanaman, bahasa, dan gen-gen mereka ke pelosok Eropa dan Asia.
Untuk saat ini, para arkeolog baru memiliki sedikit dari kekayaan penggalian mereka. Tim Scmidt belum mencapai lapisan tertua dari Göbekli Tepe, jadi belum banyak rahasia yang terungkap. “Untuk sepenuhnya memahami pentingnya dan arti dari situs itu dibutuhkan lebih banyak penelitian,” ucap Notroff. Dan selama beberapa tahun terakhir ini, para arkeolog dari Turki telah mengeksplorasi situs-situs yang lebih kecil di dekat situ yang mungkin bisa memecahkan beberapa misteri yang tersisa dari kebudayaan itu.
Sementara itu, Mithen menemukan prospek penelitian yang “menakutkan dan menegangkan”. Sudah lebih dari satu dasawarsa berlalu sejak pertama kali ia datang ke sana. “Dan saya tahu ini akan menjadi sebuah aspek yang dominan dalam penelitian saya selama 10 sampai 20 tahun ke depan.” Seiring tim yang dipimpinnya menggali lebih dalam, ia berharap bisa menemukan semacam struktur-struktur yang berasal dari masa yang lebih tua lagi—barangkali untuk bisa membantu menghubungkan titik-titik yang ada di antara gubuk-gubuk lumpur itu dan masyarakat yang lebih kompleks yang hidup di sekitar amfiteater. “Kami hanya baru menggores permukaannya saja.”
Apapun yang mereka temukan, pandangan-pandangan kita tentang asal-usul peradaban—dan dunia modern yang sedang kita diami—tak akan pernah sama lagi.

________________
David Robson adalah seorang feature editor di New Scientist.

Menara Kekuasaan
Bangunan ini disebut-sebut sebagai pencakar langit yang pertama di dunia. Sebelas ribu tahun silam sebuah masyarakat pemburu dan pengumpul makanan membangun sebuah menara dan tangga dari batu setinggi 8 meter –untuk alasan yang belum diketahui.
 Menara Jericho
Sejak ditemukan Tower of Jericho atau Menara Jericho ini telah memusingkan para arkeolog. Beberapa orang mengusulkan bahwa menara itu dibangun sebagai menara pengawas, tapi tidak ditemukan bukti-bukti mengenai adanya invasi. Barangkali menara itu justru menjadi sebuah sarana untuk mempersatukan para petani pertama.
Roy Liran dan Ran Barkai dari Tel Aviv University, Israel, baru-baru ini melakukan simulasi seperti apa menara itu akan terlihat pada saat titik balik matahari di musim panas. Mereka mendapati bahwa bayangan perbukitan di sekeliling menara itu akan menyelimutinya ketika matahari tenggelam dan menciptakan sebuah citra yang menakutkan. Efek seram ini mungkin bisa digunakan oleh kepala desa untuk menakut-nakuti para petani agar mau bekerja lebih keras, kata mereka.

Sapi Keramat
Domestikasi tanaman pada masa Neolitik di wilayah Timur Tengah acapkali dijabarkan dalam ranah ekonomi, misalnya sebagai sebuah sarana menghemat tenaga kerja atau sebagai upaya konservasi pangan. Dari temuan-temuan baru (baca di artikel utama) penjelasan yang telah lama diterima ini tidak lagi terasa meyakinkan.
            Sekarang ini tampak bahwa pemikiran manusia mulai berubah bahkan sebelum ekonomi mengalami perubahan. Hal ini dimulai ketika para pemburu dan pengumpul makanan yang hidup nomaden berkumpul dengan tujuan melaksanakan ritual di tempat-tempat seperti Göbekli Tepe. Ketika sebagian orang bekerja, kemungkinan secara musiman, untuk membangun monumen-monumen, sebagian yang lain mengumpulkan biji-bijian liar untuk konsumsi para pekerja itu. Beberapa dari biji-bijian itu terjatuh di dekat pemukiman-pemukiman sementara. Melalui proses yang berulang-ulang dan pengumpulan tanaman yang paling dekat, secara bertahap dan tanpa disengaja gandum pun terdomestikasi.
Lantas bagaimana dengan hewan-hewan? Mungkinkah ada peran unsur “ketidaksengajaan” dalam prosesnya?
Kami berpendapat bahwa domestikasi binatang memiliki akar konseptual dalam masyarakat pemburu dan pengumpul makanan dari masa Paleolitik akhir (sekitar 20.000 sampai 12.000 tahun yang lalu). Karya-karya seni yang ditemukan di gua-gua menunjukkan bahwa orang-orang pada masa itu telah memilih spesies-spesies tertentu yang memiliki signifikansi khusus di luar kepentingan ekonomis semata.
Spesies-spesies hewan utama dari seni Paleolitik Akhir adalah sapi purba, kuda, bison, dan bangsa kucing. Spesies lainnya, misalnya mammoth, ditambahkan dan dihilangkan di beberapa wilayah, namun tidak pernah ditemukan masa dimana para artis lukisan gua masa Paleolitik Akhir menggambar sesuatu hanya dengan tujuan kesenangan dan ekonomi, misalnya lukisan yang didominasi oleh wajah manusia, pohon-pohon, atau kelinci-kelinci. Para pelukis itu berfokus pada mahluk-mahluk yang diyakini memiliki roh yang kuat.
Apa yang kita sebut sebagai “domestikasi konseptual” atas binatang-binatang tertentu (kebanyakan yang hidup dalam kawanan binatang) sudah menjadi bagian dari pikiran manusia jauh sebelum mereka mulai menggembala dan mengandangi hewan-hewan nyata.
Kita masih bisa melihat hal ini dalam masyarakat pengumpul makanan modern, seperti pada masyarakat San di wilayah bagian selatan Afrika dimana status sosial dari para “pekerja ritual” (mirip dengan shaman) seringkali didasarkan pada hubungan erat mereka dengan hewan-hewan yang memiliki roh yang kuat. Kebanyakan dari hewan-hewan ini adalah bangsa kucing besar—hewan liar yang paling kuat. Namun jenis hubungan semacam ini berkembang ke arah pengendalian spesies-spesies yang memiliki keuntungan ekonomi, misalnya antelop.
Ukiran-ukiran yang menakjubkan di Göbekli Tepe menunjukkan bahwa sekitar 11.000 tahun silam, semacam hubungan “spiritual” yang sama dengan beberapa jenis hewan seperti burung-burung, bangsa kucing, rubah, sapi, dan bahkan serangga, mungkin juga telah ada.
Pada situs berikutnya, hubungan-hubungan tersebut mulai berfokus pada hewan-hewan yang lebih mudah dijinakkan, seperti babi dan domba. Meskipun begiut, karena pekerja ritual lebih menemukan kekuatan pada hewan liar daripada hewan yang telah didomestikasi, dan karenanya dianggap remeh, kecenderungan ini akhirnya berfokus pada kawanan sapi purba liar.
Ada kemungkinan orang-orang pada masa itu telah mempercayai bahwa kawanan sapi liar ini berada di bawah kendali para pekerja ritual. Domestikasi sebenarnya, dengan cara penggembalaan dan pengandangan, adalah sebuah langkah logis yang terjadi selanjutnya sebab telah dipandang sebagai sebuah perwujudan dari kekuatan para pekerja ritual. Orang-orang tidak menciptakan domestikasi hewan untuk tujuan ekonomis: mereka menciptakannya untuk tujuan sosio-religius.
___________
David Lewis-Williams adalah seorang pendiri dan profesor emiritus pada Rock Art Research Institute, University of the Withwatersrand, Afrika Selatan. David Pearce adalah direktur pada lembaga tersebut. Mereka adalah co-authors dari buku Inside the Neolithic Mind: Consciousness, cosmos and the realm of the gods (Thames & Hudson)

Hak Cipta artikel ini ada pada New Scientist.



No comments:

Post a Comment