Sunday, December 1, 2013

APAKAH PIKIRAN KITA SAMA ...



Judul asli         : Are You Thinking what I’m Thinking ...
Penulis             : Alison George
Source             : Majalah NewScientist, 23 November 2013



Ledakan munculnya karya seni kompleks di Benua Eropa yang terjadi 40.000 tahun yang lalu pernah dianggap sebagai penanda lahirnya pikiran modern. Tapi kode dari zaman batu justru memperlihatkan adanya kemungkinan lain, kata Alison George.

Pada saat saya meninggalkan terangnya sinar matahari di belakang saya dan memasuki keremangan gua El Castillo di bagian utara Spanyol, barangkali saya hanyalah salah satu dari sekian banyak manusia yang telah memasuki gua itu sepanjang 150.000 tahun terakhir. Setelah sampai di dalam gua, saya berjalan melewati dinding kotor berlumpur setinggi 20 meter sisa-sisa hunian para penghuni gua dan memasuki labirin.
Ruangan pertama yang saya masuki adalah sebuah ruangan yang luas, di dindingnya saya melihat sekilas lukisan sapi-sapi purba, rusa, dan bison. Tapi saya berada di gua ini untuk melihat sesuatu yang lebih misterius: serangkaian tanda-tanda abstrak yang tampak seperti semacam kode dari zaman batu.
Perjalanan saya membawa saya ke sebuah ruangan tersembunyi yang begitu sempit sehingga saya harus menunduk agar tidak merusak gambar-gambar yang ada di atas kepala saya. Gambar-gambar itu tidak seperti gambar mana pun yang pernah saya lihat –seni abstrak yang terdiri dari gambar-gambar persegi besar yang berisikan garis-garis dan titik-titik. Ada gambar palang besar yang terbuat dari titik-titik kecil, ada pula gambar dua persegi yang saling bersilangan dan membentuk sebuah palang. Bentuk-bentuk geometris di gambar-gambar itu begitu rumit sehingga tak sulit untuk menduga bahwa tanda-tanda itu tentulah berisikan semacam informasi (lihat foto).
Tanda-tanda di gua El Castillo
Pemandu saya, seorang arkeolog bernama Genevive von Petzinger, sedang melakukan penelitian di gua ini untuk menyusun katalog bagi tanda-tanda itu dalam rangka memahami pikiran para pembuatnya. Apa yang mendorong orang-orang itu masuk ke kegelapan gua dan menggambar diagram-diagram yang kompleks di dinding gua dengan menggunakan oker? Dan apakah mereka sudah mampu berpikir dengan cara yang sama seperti kita sekarang? “Saya banyak menghabiskan waktu saya untuk membayangkan diri saya sebagai mereka,” kata von Petzinger yang berasal dari University of Victoria, Kanada.
Berumur lebih dari 15.000 tahun, simbol-simbol ini digambar pada masa akhir “Ledakan Kreatif” (creative explosion) yakni sebuah periode yang di dalamnya terjadi penyebaran seni gua dan artefak-artefak simbolis seperti perhiasan-perhiasan dan patung-patung secara luas yang dimulai sekitar 40.000 tahun yang lalu. Transisi yang terjadi pada saat itu dianggap sebagai penanda terjadinya perubahan kognitif yang mendadak –barangkali disebabkan oleh mutasi genetik yang menerpa populasi manusia dan pada akhirnya memunculkan pikiran modern.

Akan tetapi, tinggalan-tinggalan arkeologis yang tersebar dari Spanyol hingga China, dari Afrika Selatan sampai Serbia saat ini menunjukkan bahwa bakat manusia akan seni dan simbolisme telah muncul jauh sebelumnya (lihat peta). “Situs-situs itu menjungkirbalikkan semua perkiraan Anda, sebab Anda akan menemukan karya-karya seni yang tadinya diduga tidak akan ada di situs-situs itu,” kata von Petzinger. Memang, di ruangan lain di El Castillo ada bukti-bukti lukisan yang bahkan tidak dihasilkan oleh spesies kita. Apabila para peneliti seperti von Petzinger bisa menemukan faktor-faktor yang memicu munculnya kreativitas ini, mereka akan mampu menguraikan makna-makna baru dalam tanda-tanda itu sendiri dan akhirnya kode-kode dari zaman batu itu akan menyingkapkan rahasianya.
Di abad ke-20 lalu, kita hanya punya sedikit pengetahuan tentang apa yang ada dalam benak leluhur kita. Meskipun karya-karya seni menakjubkan yang ditemukan di gua-gua di Perancis dan Spanyol tampaknya menunjukkan adanya pikiran yang sepenuhnya modern, para seniman pendahulu itu diperkirakan belum memiliki sarana dasar untuk jenis pemikiran abstrak atau pun simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh antropolog kenamaan Jared Diamond pada tahun 1989, sebelum terjadinya “lompatan besar ke depan”, manusia tidak lebih dari “monyet babon yang dimuliakan”.
Kendati demikian, teori lompatan kognitif ini punya kelemahan juga sebab teori ini mengatakan bahwa peristiwa lompatan itu terjadi setelah leluhur manusia meninggalkan Afrika sekitar 100.000 tahun yang lalu. Jika seandainya terobosan itu memang disebabkan oleh mutasi gen di Eropa, bagaimana bisa perubahan itu juga terjadi pada populasi manusia di Australia, Asia, atau pun Amerika yang telah lama kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Eropa? Sebuah penjelasan yang jauh lebih sederhana adalah bahwa leluhur kita telah mengembangkan daya pikir yang dibutuhkan untuk proses itu sebelum mereka meninggalkan Afrika –sayangnya tidak ada bukti untuk penjelasan ini.
Situasi ini berubah dengan ditemukannya serangkaian temuan yang menarik di gua Blombos, Afrika Selatan. Artefak-artefak seperti manik-manik dari cangkang telur burung unta dan bongkahan oker yang berukir pola-pola geometris membuat situs-situs itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda seni simbolis yang 30.000 tahun lebih awal dan 10.000 kilometer lebih jauh ke selatan dari para seniman pengisi “ledakan kreatif” di Eropa. Berdasarkan temuan-temuan yang umurnya lebih awal itu, antropolog Sally McBrearty dan Alison Brooks menulis sebuah makalah berjudul “The Revolution That Wasn’t” (Revolusi yang tidak pernah terjadi) pada tahun 2000 (Journal of Human Evolution, vol 39, hal. 453) yang menyerang pandangan “Eropasentris” atas asal-usul manusia.
Kritik mereka yang pedas telah menorong para peneliti lain untuk menelaah persoalan asal-usul pikiran simbolis secara lebih luas dan mendalam, dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini banyak temuan lama yang dikaji ulang dan juga banyak temuan baru yang ditemukan. Di antara temuan-temuan yang penting dicatat adalah cangkang-cangkang telur burung unta dari hunian karang Diepkloof di Afrika Selatan yang berukir lima pola geometris yang berbeda dan berumur setidaknya 52.000 tahun. Sementara itu, kumpulan cangkang kerang laut di gua Qafzeh di Israel, dan Grotte des Pigeons di Maroko memperlihatkan bahwa manusia-manusia spesies modern telah mengoleksi hiasan-hiasan pribadi sejak 80.000 tahun yang lalu. Dan di antara beberapa temuan dari China, beberapa perhiasan dari gua atas Zhoukoudian di dekat Beijing, China, yang berumur sekitar 34.000 tahun lagi-lagi menunjukkan bahwa kelompok-kelompok manusia di berbagai penjuru bumi sudah bereksperiman dengan berbagai cara yang berbeda dalam berkomunikasi dan menghias diri mereka sendiri.
Ketika temuan-temuan yang ada telah mendorong peristiwa munculnya pemikiran abstrak semakin jauh ke masa yang lebih awal, beberapa arkeolog bahkan mulai mempertanyakan apakah benar seni dan simbolisme merupakan ciri khas dari Homo sapiens. Lagipula, para Neanderthal punya ukuran otak yang sama besarnya dengan otak manusia modern –dan sejauh ini kurangnya bukti bisa jadi disebabkan oleh sifat kebudayaan para spesies tersebut. “Mungkin saja mereka menggunakan bulu-bulu dan zat warna dari sayuran yang tidak akan meninggalkan jejak,” kata Francesco d’Errico dari University of Bordeaux, Perancis.
Tentu saja ada beberapa petunjuk menarik yang menunjukkan bahwa mereka telah bereksperimen dengan seni, seperti yang saya lihat sendiri di salah satu ruangan di gua El Castillo. Dipenuhi dengan titik-titik merah, gambar bison dan juga gambar tangan benar-benar tampak mengagumkan, tapi saya nyaris melewatkan artefak yang paling luar biasa: sebuah gambar cakram bercat merah yang nyaris sepenuhnya tersamarkan oleh sebuah lapisan kalsit yang buram. Analisis kandungan uranium terhadap kalsit itu menunjukkan bahwa cat itu dibuat setidaknya pada 40.000 tahun yang lalu dan menjadikannya sebagai bukti tertua dalam bentuk lukisan yang pernah ditemukan di Eropa. Karena pada masa itu spesies manusia modern baru saja tiba di Eropa, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pembuatnya adalah para Neanderthal.
Hampir sama dengan itu, d’Errico telah menemukan bongkah-bongkah zat pewarna mangan dalam gua di situs Pech de L’Aze di Perancis yang pernah dihuni oleh para Neanderthal. Dibentuk seperti krayon, bongkah-bongkah itu mungkin pernah digunakan untuk melukis desain pada tubuh manusia—yang dengan sendirinya merupakan sebuah perilaku simbolis. “Tidak ada alasan mengapa mereka tidak mengguratkannya di dinding gua juga,” kata Christopher Henshilwood dari University of Witwatersrand, Afrika Selatan. Barangkali pada akhirnya mereka mampu menciptakan karya seni figuratif yang rumit dalam lukisan gua hunian Homo sapiens. “Saya kira mereka sedang berada di jalur menuju modernitas. Jika saja mereka dapat bertahan hidup, tentulah menarik untuk melihat seperti apa perkembangannya kemudian,” katanya lagi.
Hal tersebut tampaknya cocok dengan temuan-temuan dari gua lain di Perancis, yakni gua Grotte du Renne yang pernah didiami oleh para Neanderthal. Temuan-temuan itu pertama kali dilaporkan di tahun 2011. Ada banyak perhiasan, termasuk diantaranya gigi yang dilubangi yang diduga dipasang pada kalung, juga pewarna-pewarna dan alat-alat tulang berhias. Kesemuanya itu menunjukkan adanya sebuah budaya bendawi yang maju, walaupun pihak-pihak yang tidaks setuju dengan pendapat itu mengatakan bahwa benda-benda itu bisa saja artefak-artefak milik H. sapiens yang tercampur dengan tinggalan-tinggalan Neanderthal.
Bahkan ada juga kemungkinan bahwa kerabat yang lebih jauh juga sudah menjadi seniman pemula. Di Israel, misalnya, para peneliti telah menemukan patung kecil Berekhat Ram yang berumur 230.000 tahun yang tampilannya dengan patung kecil Venus (Venus figurine) yang dibuat di Eropa sekitar 30.000 tahun yang lalu. Patung dari Israel ini bentuknya kasar dan boleh jadi sebenarnya tidak lebih dari sebuah kerikil yang bentuknya mirip patung, akan tetapi beberapa analisis mikroskopis menunjukkan adanya bekas-bekas pengukiran yang disengaja di sekitar leher untuk membentuknya ke dalam proporsi yang tepat. Jika memang demikian, maka waktu dan lokasi yang ada menunjukkan bahwa temuan itu dibuat oleh Homo erectus. Meskipun gagasan itu masih berupa perdebatan, ada rumor yang mengatakan bahwa tak lama lagi kita mungkin akan melihat beberapa bukti yang lebih dramatis mengenai perilaku simbolis dari leluhur kita yang telah punah ini.

Riwayat keluarga
Seiring berjalannya waktu, bukti-bukti yang bersinggungan bisa membantu memperjelas gambaran dari persoalan ini. Akan butuh waktu lama bagi perubahan perilaku sehingga bisa meninggalkan jejak dalam rekaman arkeologis, ujar Johan Lind dari Stockholm University, Swedia, tapi ada cara-cara untuk merekonstruksi kurun-kurun waktu yang samar-samar itu. Sebagai contoh, banyak peneliti yang saat ini melirik perangkat lunak yang biasanya digunakan untuk melacak silsilah genetika yang mengaitkan organisme-organisme yang berbeda. Meskipun perangkat tersebut dirancang untuk meneliti gen, perangkat ini bisa dimodifikasi untuk merekonstruksi evolusi tradisi, misalnya perkawinan, berdasarkan temuan-temuan arkeologis dan catatan-catatan linguistik. Dengan menebarkan jala mereka lebar-lebar, tim yang dipimpin Lind memasukkan data tentang gen FOXP2 yang diduga berkaitan dengan perkembangan linguistik dan perubahan dalam sistem vokal, serta petunjuk-petunjuk arkeolodis atas hal-hal seperti pemanfaatan api dan teknologi alat yang kompleks –ciri-ciri yang seharusnya memiliki landasan sarana abstrak yang sama dengan yang melahirkan perilaku simbolisme. Dalam makalah yang diterbitkan di awal tahun ini mereka memperkirakan bahwa pikiran modern telah muncul setidaknya 170.000 tahun yang lalu, dan bisa jadi sejak 500.000 tahun yang lalu pada leluhur-leluhur seperti Homo erectus. “Tampaknya hal-hal yang menjadi ciri khas manusia modern ternyata sudah berakar jauh lebih dalam dalam alur evolusi,” ucap Lind.
Apapun kesimpulan mengenai kemampuan yang dimiliki oleh spesies lain, tampak jelas bahwa kemampuan berpikir abstrak sudah sejak lama muncul sebelum leluhur kita meninggalkan Afrika. Namun hal tersebut tidak memecahkan misteri “ledakan kreatif” dengan karya-karya seni figuratif dan mahluk-mahluk mistisnya. Apa yang menyebabkan leluhur kita melakukan lompatan dari upaya-upaya awal itu menuju penciptaan-penciptaan karya yang rumit seperti yang saya lihat di gua El Castillo?
Salah satu kemungkinannya adalah bahwa populasi mereka telah mencapai jumlah kritis yang entah bagaimana mendorong munculnya inovasi –sebuah gagasan yang didukung oleh temuan-temuan baru yang menunjukkan bahwa para H. sapiens mengalami sebuah ledakan populasi ketika mereka tiba di benua Eropa. Lagipula kebudayaan yang maju adalah hasil dari beragam inovasi yang kecil-kecil –dan hal tersebut membutuhkan banyak kepala untuk berpikir dan mencipta selama bertahun-tahun. “Anda akan butuh banyak budaya untuk bisa membuat sebuah kebudayaan baru,” kata Lind. Dia mengibaratkan kelompok penyanyi pop ABBA tidak akan lahir seandainya Anda mengirimkan 100 orang Swedia ke Bulan pada tahun 1970an.
Ledakan populasi telah menciptakan lingkungan sosial yang berbeda secara mendasar dimana orang-orang hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan jaringan sosial yang lebih luas. Hasilnya adalah tungku tekanan sosial yang menuntut cara yang berbeda dalam menciptakan identitas bersama dan cara mengkoordinir kelompok-kelompok yang lebih besar. “Perkembangan simbolis ini menjadi perekat kebudayaan yang menyatukan orang-orang itu dan memungkinkan mereka untuk berinteraksi secara konstruktif,” kata Nicholas Conard dari University of Tübingen, Jerman, yang telah banyak menggali artefak-artefak kuno di wilayah Swabian Alps di negara itu. “Orang-orang yang menggunakan simbol-simbol itu berkompetisi secara lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak.”
Memahami dinamika yang sedang berubah ini barangkali bisa membantu kita dalam mengkaji ulang makna dari karya seni. Jika El Castillo, misalnya, dulunya adalah sebuah titik pertemuan beberapa kelompok yang berbeda, maka hal ini bisa membantu mengartika persegi-persegi merah yang kompleks di dinding gua itu. “Saya tidak melihat alasan mengapa persegi-persegi itu bukan tidak mungkin adalah tanda-tanda klan atau semacam tanda persatuan,” kata von Petzinger. “Secara keseluruhan semua tanda itu memiliki format yang sama. Dimulai dengan sebuah gambar persegi, kemudian dibagi ke dalam beberapa bagian, dan kemudian perbedaan-perbedaan nyata mulai muncul –beberapa bagian ada yang dihiasi dengan arsiran melintang, yang lain dengan garis-garis atau titik-titik, dan sisanya dibiarkan kosong.” Dengan demikian, konfigurasi individual menggambarkan keluarga-keluarga atau kelompok-kelompok, katanya lagi.
Ada banyak tanda geometris lain di gua-gua di Eropa dan von Petzinger tengah menyelidiki apakah tanda-tanda itu menjadi semakin kompleks dalam menandai kelompok-kelompok yang berbeda ketika tekanan sosial diperhitungkan. Ia telah mendapati bahwa simbol-simbol paling awal cenderung tidak tersusun dengan pola tertentu, akan tetapi kemudian sekitar 20.000 tahun yang lalu tanda-tanda itu mulai dikelompok-kelompokkan. Sebagai contoh, ketika saya mengunjungi gua Ojo Guareña yang ada di dekat El Castillo saya melihat gambar barisan segitiga yang rapi digambar di dinding gua itu.

Dorongan ke arah abstraksi
Perubahan perilaku ini mungkin berkaitan dengan kondisi iklim di puncak zaman es yang terjadi antara 26.000 dan 19.000 tahun yang lalu, ucap von Petzinger, ketika cuaca dingin memaksa orang-orang untuk pindah ke wilayah selatan. “Tiba-tiba saja mereka tinggal dalam jarak yang berdekatan satu sama lainnya daripada sebelumnya,” katanya. “Apabila Anda berhadapan dengan orang-orang asing, Anda perlu mengetahui siapa mereka, dan juga siapa Anda,” katanya lagi—dan barangkali mereka juga perlu memperluas perbendaharaan artistik mereka agar bisa memasukkan orang-orang yang jumlahnya semakin bertambah. Simbol-simbol itu mungkin juga dipakai sebagai tanda-tanda teritorial sehingga kelompok-kelompok yang baru akan tahu bahwa gua itu telah dieksplorasi oleh kelompok lain.
Sebuah pendekatan forensik yang mirip dengan itu barangkali bisa membantu menguraikan makna tanda-tanda abstrak yang diukir pada ribuan tulang dan tanduk masa Paleolitik –termasuk di antaranya tanda-tanda garis, tanda pangkat, dan palang. Tanda-tanda itu sebelumnya diartikan sebagai siklus Bulan, atau semacam sistem perhitungan, akan tetapi ketika Sarah Evans dari University of Cambridge mencoba menyusun semacam “kamus” dari tanda-tanda itu, ia mendapati bahwa simbol-simbol dan benda-benda tertentu acapkali mirip satu sama lain. Contohnya tanda tiga garis berkelompok yang berbeda muncul pada lissoirs –yakni alat tulang yang dipakai untuk menghaluskan kulit binatang, tapi tidak ada pada alat lainnya. Jenis pola yang sistematis ini menunjukkan bahwa hal itu adalah tradisi yang diajarkan oleh satu orang ke orang lainnya, katanya. Walaupun memang mungkin juga ukiran-ukiran itu digunakan sebagai alat berhitung, gaya-gaya ukiran tertentu mungkin bisa membantu menandai keanggotaan dalam kelompok, ucapnya lagi.
Tanda keanggotaan semacam itu bisa jadi hal yang penting dalam situasi-situasi tertentu. Jika Anda berjumpa dengan orang-orang asing yang membawa alat-alat yang berukiran sama dengan alat yang Anda miliki, Anda akan tahu bahwa mereka berasal dari latar belakang yang sama dengan Anda dan kemungkinan besar mereka juga akan berpikir dan berperilaku sama seperti Anda dan hal itu akan memudahkan interaksi Anda dengan mereka. “Jaringan-jaringan sosial merupakan aspek penting dalam kehidupan kita,” ujar Evans. “Saya tentu tidak akan mengatakan bahwa tulang-tulang itu adalah semacam Facebook di zaman mereka, tapi simbol-simbol itu memang menciptakan keterkaitan di antara orang-orang sehingga memungkinkan mereka untuk bertahan hidup.”
Tentu saja faktor-faktor lain juga bisa mendorong terjadinya kemajuan di wilayah-wilayah lain. D’Errico menduga perkembangan itu muncul dalam bentuk seperti mosaik dengan gagasan-gagasan seperti lukisan, misalnya, akan muncul dan menghilang sesuai dengan kondisi setempat. “Tidak ada pola yang sederhana. Inovasi muncul dan menghilang pada saat populasi-populasi itu menguji eksperimen-eksperimen budaya mereka.” Bersama dengan Henshilwood, baru-baru ini d’Errico merancang sebuah proyek penelitian besar bernama Tracsymbol untuk menyelidiki bagaimana iklim lokal bisa mendorong munculnya inovasi-inovasi perilaku yang penting dan juga hilangnya inovasi-inovasi itu baik pada manusia modern maupun Neanderthal. Sebagai contoh, dalam proyek itu mereka mencari tahu apakah perubahan iklim di wilayah selatan Afrika telah menghentikan budaya orang-orang di sana yang saat itu sedang berkembang. Jika memang seperti itu yang terjadi, maka ada kemiripan dengan situasi di Tasmania 14.000 tahun yang lalu ketika peningkatan muka air laut telah memisahkan pulau tersebut dari Benua Australia dan menyebabkan penduduknya banyak membuang inovasi-inovasi teknologi.
Meskipun pemahaman kita atas asal-usul kognisi manusia telah banyak meningkat di tahun-tahun belakangan ini, kita masih bisa berharap datangnya perkembangan yang lebih besar lagi, seiring dengan dilakukannya riset genetika yang akan membantu memilah-milah lebih banyak lagi perbedaan di antara spesies-spesies manusia. “Tidak akan ada jawaban yang sederhana,” ucap Conard. “Persoalan ini akan jadi rumit, namun justru itu yang akan membuatnya lebih menarik.”
Kembali ke gua El Castillo, saya dengan malas meninggalkan gua kecil dengan tanda-tanda persegi itu untuk menjelajahi wilayah-wilayah lain dari kompleks gua itu. Karya seni purba adalah hal yang menakjubkan. Bulatan-bulatan besar berwarna merah berjajar di dinding koridor –saya bertanya-tanya apakah tanda-tanda itu dulunya berfungsi sebagai tanda jalan? Di tempat lain, sesosok bison yang aneh dipahat dari formasi batuan dan ketika kami menyodorkan obor ke arah patung tersebut, siluetnya tampak menari-nari di sepanjang dinding gua. Beberapa peneliti mengartikannya sebagai semacam teater bayangan (majalah NewScientist, 22 Desember 2012, hal. 44).
Akhirnya saya ke luar, masuk ke dalam mobil saya dan dengan segera kembali ke Abad 21. Sembari menyetir di sepanjang pantai menuju Bilbao, saya jadi berpikir, seandainya para manusia purba itu tidak pernah mengembangkan kemampuan mencoreti dinding gua dengan desain-desain abstrak itu, barangkali tidak akan ada teknologi-teknologi yang saat ini mengelilingi saya –mobil, telepon, navigasi satelit—yang akan ditemukan. Seperti yang dikatakan oleh von Petzinger, “Ada lebih banyak kisah dalam tanda-tanda geometris itu daripada yang kita bayangkan.”

_____
Alison George adalah seorang opinion editor di majalah New Scientist





  

No comments:

Post a Comment