Berhentilah
mencari-cari sebuah hukum yang pasti. Sejarah kehidupan hanyalah hal tak tentu
yang muncul setelah hal tak tentu lainnya, kata Keith Bennett
Cover story pada majalah NewScientist terbitan 16 Oktober
2010, hal 28 – 31
Di tahun
1856, geolog Charles Lyell menulis surat kepada Charles Darwin yang berisi
pertanyaan mengenai fosil. Dibingungkan oleh jenis-jenis moluska yang dalam
catatan fosil di Inggris tiba-tiba saja menghilang dari muka bumi, tampaknya
akibat adanya glasiasi, dan kemudian muncul kembali 2 juta tahun kemudian dan
tidak mengalami perubahan sedikit pun, Lyell meminta kepada Darwin: “Berbaik hatilah untuk menjelaskan
semua hal itu dalam suratmu berikutnya.” Darwin tidak pernah melakukannya.
Sampai hari ini, pertanyaan Lyell itu tidak pernah mendapatkan jawaban
yang pasti. Saya percaya bahwa hal ini terjadi karena memang tidak ada jawaban
untuk pertanyaan itu. Karena evolusi berjalan sedemikian rupa, tidak mungkin
bagi kita untuk meramalkan bagaimana spesies tertentu akan merespon perubahan
lingkungan.
Ini bukan berarti bahwa evolusi merupakan sesuatu yang bersifat acak –
tidak sama sekali. Akan tetapi konsep yang rapi mengenai adaptasi terhadap
lingkungan ditentukan oleh seleksi alam, seperti yang dibayangkan oleh Darwin
dalam On the Origin of Species dan
saat ini menjadi segi utama dalam teori evolusi, ternyata terlalu
menyederhanakan soal. Alih-alih sebagai sesuatu yang rapi dan teratur, evolusi
justru bersifat khaotik.
Argumen Darwin terdiri dari dua bagian: Pertama, kehidupan berevolusi
dari leluhur yang sama. Kedua, kehidupan berevolusi melalui seleksi alam dan
adaptasi. Bagian pertama telah diterima sebagai sebuah premis dasar dalam
biologi sejak tahun 1859. Sementara itu, bagian kedua lebih kontroversial,
namun akhirnya diterima selama lebih dari 150 tahun terakhir ini sebagai sebuah
mekanisme mendasar dari proses evolusi. Inilah yang saat ini dikenal sebagai
“adaptasionisme”.
Adaptasionisme memang terlihat benar terjadi dalam evolusi mikro –
evolusi dalam skala kecil yang terjadi di dalam spesies, semisal perubahan
paruh pada burung-burung Galapagos sebagai respon terhadap ketersediaan
makanan.
Meskipun demikian, masih ada perdebatan sengit mengenai peran seleksi
alam dan adaptasi dalam “evolusi makro” – peristiwa evolusioner berskala besar
semisal perubahan-perubahan dalam keanekaragaman mahluk hidup sepanjang waktu,
radiasi evolusioner dan, tentu saja, asal-usul spesies. Apakah kesemuanya ini
merupakan hasil kumulatif dari proses yang sama dengan proses yang mengarahkan
evolusi mikro, ataukah evolusi makro sendiri memiliki proses dan polanya
tersendiri yang berbeda?
Ini menjadi perdebatan yang sangat panjang. Pada tahun 1972, misalnya,
Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould mempertanyakan asumsi yang menyatakan
bahwa perubahan evolusioner terjadi secara terus menerus dan bertahap-tahap.
Hipotesis “punctuated equilibrium” mereka menyatakan bahwa perubahan terjadi
dalam ledakan-ledakan singkat yang dipisahkan oleh periode stabil yang panjang,
dan hal ini berbeda dari perubahan secara berkesinambungan selama sebuah
periode panjang yang diakibatkan oleh adanya seleksi alam dan adaptasi.
Setelah itu, John Endler, seorang pakar biologi evolusioner dari
University of Exeter, Inggris, meneliti contoh-contoh yang diklaim merupakan
contoh dari seleksi alam namun justru ia tidak menemukan bukti nyata mengenai
hal itu (dicatat dalam bukunya yang berjudul Natural Selection in the Wild, terbit tahun 1986). Yang lebih baru,
dan kontroversial, ilmuwan kognitif Jerry Fodor dari Rutgers University di New
Brunswick, New Jersey, dan Massimo Piattelli-Palmarini dari University of Arizona
di Tucson telah menyatakan adanya masalah filosofis mengenai argumen para
adaptasionis (New Scientist, 6
Februari, hlm. 28).
Saat ini para pakar paleoekologi seperti saya memasukkan perspektif
baru ke dalam permasalahan ini. Jika evolusi makro benar-benar merupakan sebuah
ekstrapolasi dari seleksi alam dan adaptasi, kita bisa meramalkan bahwa kita
akan melihat perubahan lingkungan mengarahkan perubahan evolusioner. Peristiwa-peristiwa
perubahan iklim yang besar seperti zaman es seharusnya meninggalkan jejak pada
kehidupan karena spesies beradaptasi pada kondisi-kondisi yang baru. Apakah hal
itu memang terjadi?
Pemahaman kita saat ini mengenai perubahan lingkungan global jauh lebih
rinci dibandingkan masa Lyell dan Darwin. James Zachos dkk. dari University of
California, Santa Cruz, telah menunjukkan bahwa Bumi sedang berada dalam tren
pendinginan selama 65 juta tahun (Science,
vol 292, hlm. 686). Yang terjadi berbarengan dengan hal ini adalah goyahnya iklim
setiap 20.000, 40.000, dan 100.000 tahun karena terjadinya kegoyahan pada orbit
bumi.
Selama dua juta tahun terakhir – yakni periode Kuarter – amplitudo kegoyahan
ini meningkat dan iklim global telah masuk ke antara periode glasiasi dan
interglasial yang lebih hangat. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimanakah
kehidupan akan merespon perubahan iklim ini?
Pada prinsipnya, ada kemungkinan tiga jenis respon evolusioner: statis,
kepunahan, atau perubahan evolusioner. Apa yang kita lihat pada kenyataannya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita melihat rekaman fosil. Saat ini
kita memiliki data yang baik yang meliputi masa 2 juta tahun terakhir dan data
yang sangat baik mengenai 20.000 tahun terakhir. Kita juga bisa menelisik sejarah evolusioner
dengan bantuan DNA modern dan DNA purba.
Catatan yang sangat rinci mengenai 20.000 tahun terakhir merupakan
hasil analisis fosil pollen tanaman yang diperoleh dari endapan danau dan
gambut. Pollen tanaman pada umumnya bisa dikenali hingga tingkat genus, bahkan
kadangkala sampai tingkat spesiesnya, dan sedimen tempatnya diperoleh bisa
ditentukan penanggalannya dengan mudah melalui penanggalan karbon.
Di tahun 1970 dan 1980an, pakar paleoekologi Margaret Davis dari
University of Minnesota di Minneapolis membuat sebuah peta dengan menggunakan
data ini. Peta tersebut menunjukkan bagaimana takson pepohonan Amerika Utara
mencapai posisi mereka masing-masing saat ini setelah glasier mundur pada
bagian akhir zaman es terakhir.
Ia menemukan bahwa pergeseran distribusi bersifat individualistik,
dengan variasi tingkatan, waktu, dan arah yang sangat besar diantara
spesies-spesies. Sebagai contoh, pohon pinus berdaun runcing menyebar dari
barat daya ke timur laut, pinus putih dari tenggara ke barat laut. Tingkat penyebarannya
beragam dari 100 meter per tahun hingga lebih dari 1.000 meter per tahun (Annal of the Missouri Botanical Garden,
vol. 70, hlm. 550). Dengan kata lain, pepohonan tidak memperlihatkan adanya
respon yang bisa diramalkan terhadap perubahan iklim, dan respon tersebut
bersifat individual alih-alih terjadi secara komunitas spesies.
Rekaman fosil juga menunjukkan kepada kita bahwa pembentukan komunitas
hutan modern berbeda dengan hutan 20.000 tahun yang lalu. Saat ini kita
mengenali berbagai tipe hutan, misalnya hutan boreal, hutan rontok, dan aspen
parkland, yang masing-masing terdiri dari campuran spesies pohon yang
berbeda-beda satu sama lain. Rekaman fosil justru menunjukkan bahwa hal ini
hanyalah pengelompokan yang bersifat temporer. Komunitas multispesies tidak
memiliki riwayat panjang dan tidak menggeser distribusi mereka dalam cara
terkoordinasi dalam merespon perubahan iklim sebagaimana yang diduga oleh
Darwin. Oleh karena itulah kita tidak bisa berasumsi bahwa anggota-anggota
komunitas hutan modern berevolusi bersama-sama atau saling bergantung satu sama
lainnya.
Hal yang sama nampaknya juga terjadi pada skala waktu yang lebih
panjang. Data pollen menunjukkan bahwa selama periode interglasial awal, ketika
iklimnya lebih mirip dengan iklim masa kini, komposisi hutan sangat berbeda
dengan komposisi hutan masa kini.
Penelitian terhadap hewan juga menunjukkan kesimpulan yang sama
mengejutkannya, walaupun didasarkan pada rekaman fosil yang lebih langka. Sebagai
contoh, paleontolog Russell Graham dari Illinois State Museum pernah meneliti
mamalia Amerika Utara dan paleontolog Russell Coope dari University of
Birmingham, Inggris, telah meneliti serangga (Annual Review of Ecology and Systematics, vol. 10, hlm. 247). Kedua
penelitian itu menunjukkan bawa sebagian besar spesies tetap tidak mengalami
perubahan selama ratusan ribu tahun, mungkin lebih, dan telah melewati beberapa
kali zaman es. Spesies terus melakukan perubahan besar dalam distribusi dan
jumlahnya namun tidak menunjukkan adanya evolusi ciri morfologis meskipun
perubahan lingkungan yang besar telah terjadi.
Hal ini bukan berarti bahwa perubahan evolusioner yang besar seperti
spesiasi tidak terjadi. Namun penelitian “jam molekuler” baru-baru ini
menunjukkan bahwa kaitan antara spesiasi dengan perubahan lingkungan bersifat
lemah.
Sulit Punah
Pendekatan jam molekuler memungkinkan kita untuk memperkirakan kapan
dua spesies modern yang memiliki hubungan erat terpisah dari satu leluhur yang
sama dengan membandingkan DNA mereka. Sebagian besar penelitian ini dilakukan
pada burung, dan menunjukkan bahwa spesies baru muncul secara berkesinambungan,
kurang lebih begitu, tak peduli adanya perubahan iklim dramatis masa Kuarter
ataupun iklim dingin yang lebih panjang yang terjadi sebelumnya (Trend in Ecology and Evolution, vol. 20,
hlm. 57).
Lalu, bagaimana dengan kepunahan? Tentu saja, ada spesies-spesies yang
punah selama 20.000 ribu tahun terakhir ini. Meskipun demikian, hampir semua
contoh kepunahan hingga tingkatan tertentu menunjukkan adanya keterlibatan kegiatan
manusia, baik secara langsung (misalnya burung dodo) maupun tidak langsung
(mamalia besar pada ujung zaman es terakhir, 12.000 tahun yang lalu).
Pada kenyataanya, kita hanya
mengetahui satu saja kepunahan baru tanpa adanya keterlibatan manusia – sebuah spesies
pohon cemara, Picea critchfieldii,
yang dulu biasa didapati di bagian bawah lembah Mississippi di zaman es
terakhir namun punah sekitar 12.000 tahun yang lalu (Proceedings of the National Academy of Sciences, vol. 96, hlm.
13847). Jelas, kepunahan lainnya juga terjadi, namun kepunahan secara
mengejutkan tampaknya merupakan respon yang jarang terjadi terhadap perubahan
iklim (lihat diagram).
Gambaran keseluruhannya adalah bahwa respon utama terhadap perubahan
iklim yang besar adalah gerakan yang bersifat individualistik dan perubahan
dalam jumlah, alih-alih kepunahan atau spesiasi. Dengan kata lain, hubungan
antara perubahan lingkungan dengan perubahan evolusioner bersifat lemah, dan
ini bukanlah yang diramalkan oleh hipotesis Darwin.
Jika perubahan lingkungan seperti glasiasi seluas benua saja tidak bisa
membuat terjadinya perubahan lingkungan, lalu apa yang bisa menyebabkan perubahan
evolusioner? Sulit untuk mengatakan bahwa adaptasi akibat seleksi alam
menyebabkan perubahan-perubahan kecil yang kemudian terakumulasi dan
menimbulkan evolusi makro.
Saya mengusulkan bahwa sumber evolusi makro sebenarnya terletak pada
dinamika nonlinear, atau khaotik, dari hubungan antara genotip dan fenotip – organisme nyata dan semua sifatnya. Hubungan
ini bersifat nonlinear sebab fenotip, atau rangkaian ciri yang bisa diamati,
ditentukan oleh sebuah hubungan kompleks yang saling mempengaruhi antara
gen-gen sebuah organisma – sepuluh ribuan jumlahnya, kesemuanya saling
mempengaruhi perilaku satu sama lainnya – dan lingkungannya.
Tidak saja hubungannya yang bersifat nonlinear, hubungan itu juga terus
berubah sepanjang waktu. Mutasi terjadi secara terus menerus, tanpa adanya
pengaruh dari luar, dan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. Sebuah perubahan dasar dari DNA sebuah
organisma mungkin tidak akan berakibat apa-apa sebab bagian DNA itu masih
dikodekan pada asam amino yang sama. Akan tetapi, perubahan itu bisa saja
menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan pada fisiologi atau morfologi
keturunannya, dan bahkan bisa berakibat fatal. Dengan kata lain, sebuah
perubahan kecil bisa menghasilkan efek yang jauh dan tidak bisa diramalkan –
sebuah ciri dari sistem nonlinear.
Jika perubahan tak terduga ini terjadi berulang-ulang selama ratusan
atau ribuan generasi, maka tentu saja akan mengarah pada terjadinya perubahan
evolusioner, selain perubahan evolusioner yang terjadi akibat kebertahanan
hidup fenotip-fenotip tertentu yang lebih cocok.
Dengan demikian evolusi makro, dalam jangka panjang, sangat dipengaruhi
oleh perubahan genetik internal, bukannya adaptasi terhadap lingkungan yang
berubah.
Evolusi kehidupan memiliki banyak sekali karakteristik yang serupa
dengan sistem nonlinear. Pertama, sifatnya deterministik: perubahan di satu
bagian sistem, seperti mutasi sebuah basis DNA, akan secara langsung mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang lain. Meskipun begitu, perubahannya tidak
bisa diramalkan. Seperti halnya cuaca, perubahan tidak bisa dihindari tapi kita
hanya bisa mengikutinya dengan cara menelusuri pola yang sudah pernah terjadi.
Kedua, perilaku sistem bersifat sensitif terhadap kondisi awal. Kita melihat
hal ini dalam respon-respon terhadap glasiasi di periode Kuarter. Keadaan rinci
dari permulaan setiap interglasial akan menentukan perkembangan keseluruhan
periode, mengarah kepada perbedaan yang tidak teramalkan antar interglasial (Quarternary Science Reviews, vol. 14,
hlm 967).
Ketiga, sejarah kehidupan bersifat fraktal. Lepaskan label-label dari
bagian manapun dari pohon kehidupan dan kita tidak akan bisa mengatakan skala
kehidupan mana yang sedang kita lihat (lihat diagram). Kemiripan-diri ini juga
mengindikasikan bahwa perubahan evolusioner adalah sebuah proses permisahan berkesinambungan
dari cabang-cabang pohon kehidupan.
Keempat, kita tidak bisa mundur, sebagaimana dikatakan oleh Stephen Jay
Gould dalam Wonderful Life. Jika kita
memutar jam evolusioner ke titik manapun di masa lalu, dan menjalankannya
kembali, maka hasilnya akan berbeda. Seperti halnya sistem cuaca, kondisi awal
tidak akan bisa dirinci hingga presisi tertentu agar memadai untuk mencegah
penyimpangan di tahap berikutnya.
Kehidupan di Bumi selalu unik,
berubah, dan tak terduga. Bahkan sekalipun pola-pola tertentu bisa dibedakan
secara samar-samar, kemampuan kita untuk melakukannya akan hilang seiring
waktu, persis seperti cuaca. Bayangakan momen apapun dari rekaman geologis atas
kehidupan di atas Bumi: pada tingkatan apa perubahan di 10 atau 100 tahun bisa
diprediksi pada saat itu? Dengan menelusuri masa lalu, kita bisa memahami apa
yang terjadi, dan membangun sebuah paparan yang masuk akal untuk
peristiwa-peristiwa itu, namun kita tidak bisa meramalkan masa depan.
Pandangan atas kehidupan semacam ini akan membawa konsekuensi tertentu.
Evolusi makro bukanlah akumulasi sederhana dari perubahan-perubahan evolusi
mikro tetapi memiliki proses dan pola-pola tertentu. Tidak akan ada “hukum-hukum”
evolusi. Kita mungkin saja mampu merekonstruksi rangkaian peristiwa-peristiwa
yang mengarah pada evolusi spesies atau kelompok apapun setelah kita mengalaminya,
namun kita tidak akan pernah bisa menggeneralisasi hal ini pada rangkaian
peristiwa lainnya. Dari sebuah sudut pandang praktis, ini artinya kita tidak
akan bisa memprediksi bagaimana spesies akan merespon perubahan iklim yang
telah diproyeksikan untuk abad ke depan.
Pertanyaan Lyell kepada Darwin lebih dari 150 tahun yang lalu adalah
pertanyaan yang tak pernah terjawab sebab Lyell meletakkannya dalam ranah
sebuah kelompok organisma tertentu. Bahkan Darwin sekalipun tidak akan bisa
menjelaskan mengapa kelompok khusus itu berlaku sedemikian rupa.
Dalam analisis terakhir, evolusi bisa diibaratkan seperti gambaran
sejarah manusia sebagai “satu hal tak tentu setelah hal tak tentu lainnya”,
persis seperti yang dikatakan Fodor dan Piattelli-Palmarini.
Masih banyak yang harus kita pelajari.
Keith
Bennet adalah profesor di bidang perubahan lingkungan masa akhir Kuarter di
Queen’s University Belfast, profesor tamu bidang paleobiologi di Uppsala
University di Swedia, dan penulis Evolution
and Ecology: The Pace of Life (Cambridge University Press). Ia peraih Royal
Society Wolfson Research Merit Award.
Postingan ini hanyalah
terjemahan semata. Hak cipta ada di tangan penulis artikel dan majalah NewScientist.
No comments:
Post a Comment