Sunday, December 11, 2011

Artikel Majalah : TEORI CHAOS DALAM EVOLUSI


Berhentilah mencari-cari sebuah hukum yang pasti. Sejarah kehidupan hanyalah hal tak tentu yang muncul setelah hal tak tentu lainnya, kata Keith Bennett

Cover story pada majalah NewScientist terbitan 16 Oktober 2010, hal 28 – 31


Di tahun 1856, geolog Charles Lyell menulis surat kepada Charles Darwin yang berisi pertanyaan mengenai fosil. Dibingungkan oleh jenis-jenis moluska yang dalam catatan fosil di Inggris tiba-tiba saja menghilang dari muka bumi, tampaknya akibat adanya glasiasi, dan kemudian muncul kembali 2 juta tahun kemudian dan tidak mengalami perubahan sedikit pun, Lyell meminta kepada  Darwin: “Berbaik hatilah untuk menjelaskan semua hal itu dalam suratmu berikutnya.” Darwin tidak pernah melakukannya.
Sampai hari ini, pertanyaan Lyell itu tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Saya percaya bahwa hal ini terjadi karena memang tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Karena evolusi berjalan sedemikian rupa, tidak mungkin bagi kita untuk meramalkan bagaimana spesies tertentu akan merespon perubahan lingkungan.
Ini bukan berarti bahwa evolusi merupakan sesuatu yang bersifat acak – tidak sama sekali. Akan tetapi konsep yang rapi mengenai adaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh seleksi alam, seperti yang dibayangkan oleh Darwin dalam On the Origin of Species dan saat ini menjadi segi utama dalam teori evolusi, ternyata terlalu menyederhanakan soal. Alih-alih sebagai sesuatu yang rapi dan teratur, evolusi justru bersifat khaotik.

Argumen Darwin terdiri dari dua bagian: Pertama, kehidupan berevolusi dari leluhur yang sama. Kedua, kehidupan berevolusi melalui seleksi alam dan adaptasi. Bagian pertama telah diterima sebagai sebuah premis dasar dalam biologi sejak tahun 1859. Sementara itu, bagian kedua lebih kontroversial, namun akhirnya diterima selama lebih dari 150 tahun terakhir ini sebagai sebuah mekanisme mendasar dari proses evolusi. Inilah yang saat ini dikenal sebagai “adaptasionisme”.
Adaptasionisme memang terlihat benar terjadi dalam evolusi mikro – evolusi dalam skala kecil yang terjadi di dalam spesies, semisal perubahan paruh pada burung-burung Galapagos sebagai respon terhadap ketersediaan makanan.
Meskipun demikian, masih ada perdebatan sengit mengenai peran seleksi alam dan adaptasi dalam “evolusi makro” – peristiwa evolusioner berskala besar semisal perubahan-perubahan dalam keanekaragaman mahluk hidup sepanjang waktu, radiasi evolusioner dan, tentu saja, asal-usul spesies. Apakah kesemuanya ini merupakan hasil kumulatif dari proses yang sama dengan proses yang mengarahkan evolusi mikro, ataukah evolusi makro sendiri memiliki proses dan polanya tersendiri yang berbeda?
Ini menjadi perdebatan yang sangat panjang. Pada tahun 1972, misalnya, Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould mempertanyakan asumsi yang menyatakan bahwa perubahan evolusioner terjadi secara terus menerus dan bertahap-tahap. Hipotesis “punctuated equilibrium” mereka menyatakan bahwa perubahan terjadi dalam ledakan-ledakan singkat yang dipisahkan oleh periode stabil yang panjang, dan hal ini berbeda dari perubahan secara berkesinambungan selama sebuah periode panjang yang diakibatkan oleh adanya seleksi alam dan adaptasi.  
Setelah itu, John Endler, seorang pakar biologi evolusioner dari University of Exeter, Inggris, meneliti contoh-contoh yang diklaim merupakan contoh dari seleksi alam namun justru ia tidak menemukan bukti nyata mengenai hal itu (dicatat dalam bukunya yang berjudul Natural Selection in the Wild, terbit tahun 1986). Yang lebih baru, dan kontroversial, ilmuwan kognitif Jerry Fodor dari Rutgers University di New Brunswick, New Jersey, dan Massimo Piattelli-Palmarini dari University of Arizona di Tucson telah menyatakan adanya masalah filosofis mengenai argumen para adaptasionis (New Scientist, 6 Februari, hlm. 28).
Saat ini para pakar paleoekologi seperti saya memasukkan perspektif baru ke dalam permasalahan ini. Jika evolusi makro benar-benar merupakan sebuah ekstrapolasi dari seleksi alam dan adaptasi, kita bisa meramalkan bahwa kita akan melihat perubahan lingkungan mengarahkan perubahan evolusioner. Peristiwa-peristiwa perubahan iklim yang besar seperti zaman es seharusnya meninggalkan jejak pada kehidupan karena spesies beradaptasi pada kondisi-kondisi yang baru. Apakah hal itu memang terjadi?
Pemahaman kita saat ini mengenai perubahan lingkungan global jauh lebih rinci dibandingkan masa Lyell dan Darwin. James Zachos dkk. dari University of California, Santa Cruz, telah menunjukkan bahwa Bumi sedang berada dalam tren pendinginan selama 65 juta tahun (Science, vol 292, hlm. 686). Yang terjadi berbarengan dengan hal ini adalah goyahnya iklim setiap 20.000, 40.000, dan 100.000 tahun karena terjadinya kegoyahan pada orbit bumi.
Selama dua juta tahun terakhir – yakni periode Kuarter – amplitudo kegoyahan ini meningkat dan iklim global telah masuk ke antara periode glasiasi dan interglasial yang lebih hangat. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimanakah kehidupan akan merespon perubahan iklim ini?
Pada prinsipnya, ada kemungkinan tiga jenis respon evolusioner: statis, kepunahan, atau perubahan evolusioner. Apa yang kita lihat pada kenyataannya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita melihat rekaman fosil. Saat ini kita memiliki data yang baik yang meliputi masa 2 juta tahun terakhir dan data yang sangat baik mengenai 20.000 tahun terakhir.  Kita juga bisa menelisik sejarah evolusioner dengan bantuan DNA modern dan DNA purba.
Catatan yang sangat rinci mengenai 20.000 tahun terakhir merupakan hasil analisis fosil pollen tanaman yang diperoleh dari endapan danau dan gambut. Pollen tanaman pada umumnya bisa dikenali hingga tingkat genus, bahkan kadangkala sampai tingkat spesiesnya, dan sedimen tempatnya diperoleh bisa ditentukan penanggalannya dengan mudah melalui penanggalan karbon.
Di tahun 1970 dan 1980an, pakar paleoekologi Margaret Davis dari University of Minnesota di Minneapolis membuat sebuah peta dengan menggunakan data ini. Peta tersebut menunjukkan bagaimana takson pepohonan Amerika Utara mencapai posisi mereka masing-masing saat ini setelah glasier mundur pada bagian akhir zaman es terakhir.
Ia menemukan bahwa pergeseran distribusi bersifat individualistik, dengan variasi tingkatan, waktu, dan arah yang sangat besar diantara spesies-spesies. Sebagai contoh, pohon pinus berdaun runcing menyebar dari barat daya ke timur laut, pinus putih dari tenggara ke barat laut. Tingkat penyebarannya beragam dari 100 meter per tahun hingga lebih dari 1.000 meter per tahun (Annal of the Missouri Botanical Garden, vol. 70, hlm. 550). Dengan kata lain, pepohonan tidak memperlihatkan adanya respon yang bisa diramalkan terhadap perubahan iklim, dan respon tersebut bersifat individual alih-alih terjadi secara komunitas spesies.
Rekaman fosil juga menunjukkan kepada kita bahwa pembentukan komunitas hutan modern berbeda dengan hutan 20.000 tahun yang lalu. Saat ini kita mengenali berbagai tipe hutan, misalnya hutan boreal, hutan rontok, dan aspen parkland, yang masing-masing terdiri dari campuran spesies pohon yang berbeda-beda satu sama lain. Rekaman fosil justru menunjukkan bahwa hal ini hanyalah pengelompokan yang bersifat temporer. Komunitas multispesies tidak memiliki riwayat panjang dan tidak menggeser distribusi mereka dalam cara terkoordinasi dalam merespon perubahan iklim sebagaimana yang diduga oleh Darwin. Oleh karena itulah kita tidak bisa berasumsi bahwa anggota-anggota komunitas hutan modern berevolusi bersama-sama atau saling bergantung satu sama lainnya.
Hal yang sama nampaknya juga terjadi pada skala waktu yang lebih panjang. Data pollen menunjukkan bahwa selama periode interglasial awal, ketika iklimnya lebih mirip dengan iklim masa kini, komposisi hutan sangat berbeda dengan komposisi hutan masa kini.
Penelitian terhadap hewan juga menunjukkan kesimpulan yang sama mengejutkannya, walaupun didasarkan pada rekaman fosil yang lebih langka. Sebagai contoh, paleontolog Russell Graham dari Illinois State Museum pernah meneliti mamalia Amerika Utara dan paleontolog Russell Coope dari University of Birmingham, Inggris, telah meneliti serangga (Annual Review of Ecology and Systematics, vol. 10, hlm. 247). Kedua penelitian itu menunjukkan bawa sebagian besar spesies tetap tidak mengalami perubahan selama ratusan ribu tahun, mungkin lebih, dan telah melewati beberapa kali zaman es. Spesies terus melakukan perubahan besar dalam distribusi dan jumlahnya namun tidak menunjukkan adanya evolusi ciri morfologis meskipun perubahan lingkungan yang besar telah terjadi.
Hal ini bukan berarti bahwa perubahan evolusioner yang besar seperti spesiasi tidak terjadi. Namun penelitian “jam molekuler” baru-baru ini menunjukkan bahwa kaitan antara spesiasi dengan perubahan lingkungan bersifat lemah.

Sulit Punah
Pendekatan jam molekuler memungkinkan kita untuk memperkirakan kapan dua spesies modern yang memiliki hubungan erat terpisah dari satu leluhur yang sama dengan membandingkan DNA mereka. Sebagian besar penelitian ini dilakukan pada burung, dan menunjukkan bahwa spesies baru muncul secara berkesinambungan, kurang lebih begitu, tak peduli adanya perubahan iklim dramatis masa Kuarter ataupun iklim dingin yang lebih panjang yang terjadi sebelumnya (Trend in Ecology and Evolution, vol. 20, hlm. 57).
Lalu, bagaimana dengan kepunahan? Tentu saja, ada spesies-spesies yang punah selama 20.000 ribu tahun terakhir ini. Meskipun demikian, hampir semua contoh kepunahan hingga tingkatan tertentu menunjukkan adanya keterlibatan kegiatan manusia, baik secara langsung (misalnya burung dodo) maupun tidak langsung (mamalia besar pada ujung zaman es terakhir, 12.000 tahun yang lalu).
 Pada kenyataanya, kita hanya mengetahui satu saja kepunahan baru tanpa adanya keterlibatan manusia – sebuah spesies pohon cemara, Picea critchfieldii, yang dulu biasa didapati di bagian bawah lembah Mississippi di zaman es terakhir namun punah sekitar 12.000 tahun yang lalu (Proceedings of the National Academy of Sciences, vol. 96, hlm. 13847). Jelas, kepunahan lainnya juga terjadi, namun kepunahan secara mengejutkan tampaknya merupakan respon yang jarang terjadi terhadap perubahan iklim (lihat diagram).
Gambaran keseluruhannya adalah bahwa respon utama terhadap perubahan iklim yang besar adalah gerakan yang bersifat individualistik dan perubahan dalam jumlah, alih-alih kepunahan atau spesiasi. Dengan kata lain, hubungan antara perubahan lingkungan dengan perubahan evolusioner bersifat lemah, dan ini bukanlah yang diramalkan oleh hipotesis Darwin.
Jika perubahan lingkungan seperti glasiasi seluas benua saja tidak bisa membuat terjadinya perubahan lingkungan, lalu apa yang bisa menyebabkan perubahan evolusioner? Sulit untuk mengatakan bahwa adaptasi akibat seleksi alam menyebabkan perubahan-perubahan kecil yang kemudian terakumulasi dan menimbulkan evolusi makro.
Saya mengusulkan bahwa sumber evolusi makro sebenarnya terletak pada dinamika nonlinear, atau khaotik, dari hubungan antara genotip dan  fenotip – organisme nyata dan semua sifatnya. Hubungan ini bersifat nonlinear sebab fenotip, atau rangkaian ciri yang bisa diamati, ditentukan oleh sebuah hubungan kompleks yang saling mempengaruhi antara gen-gen sebuah organisma – sepuluh ribuan jumlahnya, kesemuanya saling mempengaruhi perilaku satu sama lainnya – dan lingkungannya.
Tidak saja hubungannya yang bersifat nonlinear, hubungan itu juga terus berubah sepanjang waktu. Mutasi terjadi secara terus menerus, tanpa adanya pengaruh dari luar, dan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.  Sebuah perubahan dasar dari DNA sebuah organisma mungkin tidak akan berakibat apa-apa sebab bagian DNA itu masih dikodekan pada asam amino yang sama. Akan tetapi, perubahan itu bisa saja menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan pada fisiologi atau morfologi keturunannya, dan bahkan bisa berakibat fatal. Dengan kata lain, sebuah perubahan kecil bisa menghasilkan efek yang jauh dan tidak bisa diramalkan – sebuah ciri dari sistem nonlinear.
Jika perubahan tak terduga ini terjadi berulang-ulang selama ratusan atau ribuan generasi, maka tentu saja akan mengarah pada terjadinya perubahan evolusioner, selain perubahan evolusioner yang terjadi akibat kebertahanan hidup fenotip-fenotip tertentu yang lebih cocok.
Dengan demikian evolusi makro, dalam jangka panjang, sangat dipengaruhi oleh perubahan genetik internal, bukannya adaptasi terhadap lingkungan yang berubah.
Evolusi kehidupan memiliki banyak sekali karakteristik yang serupa dengan sistem nonlinear. Pertama, sifatnya deterministik: perubahan di satu bagian sistem, seperti mutasi sebuah basis DNA, akan secara langsung mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang lain. Meskipun begitu, perubahannya tidak bisa diramalkan. Seperti halnya cuaca, perubahan tidak bisa dihindari tapi kita hanya bisa mengikutinya dengan cara menelusuri pola yang sudah pernah terjadi.
Kedua, perilaku sistem bersifat sensitif terhadap kondisi awal. Kita melihat hal ini dalam respon-respon terhadap glasiasi di periode Kuarter. Keadaan rinci dari permulaan setiap interglasial akan menentukan perkembangan keseluruhan periode, mengarah kepada perbedaan yang tidak teramalkan antar interglasial (Quarternary Science Reviews, vol. 14, hlm 967).
Ketiga, sejarah kehidupan bersifat fraktal. Lepaskan label-label dari bagian manapun dari pohon kehidupan dan kita tidak akan bisa mengatakan skala kehidupan mana yang sedang kita lihat (lihat diagram). Kemiripan-diri ini juga mengindikasikan bahwa perubahan evolusioner adalah sebuah proses permisahan berkesinambungan dari cabang-cabang pohon kehidupan.
Keempat, kita tidak bisa mundur, sebagaimana dikatakan oleh Stephen Jay Gould dalam Wonderful Life. Jika kita memutar jam evolusioner ke titik manapun di masa lalu, dan menjalankannya kembali, maka hasilnya akan berbeda. Seperti halnya sistem cuaca, kondisi awal tidak akan bisa dirinci hingga presisi tertentu agar memadai untuk mencegah penyimpangan di tahap berikutnya.
 Kehidupan di Bumi selalu unik, berubah, dan tak terduga. Bahkan sekalipun pola-pola tertentu bisa dibedakan secara samar-samar, kemampuan kita untuk melakukannya akan hilang seiring waktu, persis seperti cuaca. Bayangakan momen apapun dari rekaman geologis atas kehidupan di atas Bumi: pada tingkatan apa perubahan di 10 atau 100 tahun bisa diprediksi pada saat itu? Dengan menelusuri masa lalu, kita bisa memahami apa yang terjadi, dan membangun sebuah paparan yang masuk akal untuk peristiwa-peristiwa itu, namun kita tidak bisa meramalkan masa depan.
Pandangan atas kehidupan semacam ini akan membawa konsekuensi tertentu. Evolusi makro bukanlah akumulasi sederhana dari perubahan-perubahan evolusi mikro tetapi memiliki proses dan pola-pola tertentu. Tidak akan ada “hukum-hukum” evolusi. Kita mungkin saja mampu merekonstruksi rangkaian peristiwa-peristiwa yang mengarah pada evolusi spesies atau kelompok apapun setelah kita mengalaminya, namun kita tidak akan pernah bisa menggeneralisasi hal ini pada rangkaian peristiwa lainnya. Dari sebuah sudut pandang praktis, ini artinya kita tidak akan bisa memprediksi bagaimana spesies akan merespon perubahan iklim yang telah diproyeksikan untuk abad ke depan.
Pertanyaan Lyell kepada Darwin lebih dari 150 tahun yang lalu adalah pertanyaan yang tak pernah terjawab sebab Lyell meletakkannya dalam ranah sebuah kelompok organisma tertentu. Bahkan Darwin sekalipun tidak akan bisa menjelaskan mengapa kelompok khusus itu berlaku sedemikian rupa.
Dalam analisis terakhir, evolusi bisa diibaratkan seperti gambaran sejarah manusia sebagai “satu hal tak tentu setelah hal tak tentu lainnya”, persis seperti yang dikatakan Fodor dan Piattelli-Palmarini.
Masih banyak yang harus kita pelajari.

Keith Bennet adalah profesor di bidang perubahan lingkungan masa akhir Kuarter di Queen’s University Belfast, profesor tamu bidang paleobiologi di Uppsala University di Swedia, dan penulis Evolution and Ecology: The Pace of Life (Cambridge University Press). Ia peraih Royal Society Wolfson Research Merit Award.



Postingan ini hanyalah terjemahan semata. Hak cipta ada di tangan penulis artikel dan majalah NewScientist.

No comments:

Post a Comment