Tuesday, December 13, 2011

Berita: “Lomba Persenjataan” Antara Ular dan Manusia


oleh Sarah C. P. Williams, tanggal  12 December 2011, 3:02 PM
di http://news.sciencemag.org/sciencenow/2011/12/an-arms-race-between-snakes-and.html?ref=hp

Tangkapan Besar. Ular sepanjang 22 kaki ini dibunuh oleh orang-orang Agra Negrito di tahun 1970an, memberikan sekitar 25 kg daging untuk keluarga si pemburu. Foto milik J. Headland
Di suatu senja tanggal 13 Maret 1973, seekor ular piton masuk ke dalam sebuah pondok jerami di Filipina dan membunuh dua orang kakak beradik: seorang anak perempuan berumur 4 tahun dan seorang anak laki-laki berumur 3 tahun. Anak ketiga terselamatkan ketika ayahnya kembali ke pondok dan membunuh reptil itu dengan sebilah pisau bolo.

Itulah salah satu kejadian yang digambarkan dalam sebuah analisis baru mengenai serangan ular ke Agta Negritos, sebuah kebudayaan pemburu dan pengumpul makanan yang hidup di wilayah pegunungan yang terisolir di pulau Luzon hingga tahun 1990an. Data baru, berdasarkan wawancara dengan orang Agta dewasa, mengungkapkan bahwa ular lebih dari sekedar pengganggu bagi mereka. Ular adalah mangsa, pemburu, sekaligus kompetitor bagi orang Agta. Hubungan yang kompleks ini mengungkapkan adanya tekanan evolusioner antara manusia dan ular.


“Sebelum ada data ini, sebagian besar orang berpikir bahwa hanya ada hubungan satu arah: ular kadang-kadang mengancam manusia,” ucap herpetolog Harry Greene dari Universitas Cornell yang turut membantu dalam analisis baru ini. “Tapi inilah bukti terkuat bahwa sebenarnya ada hubungan yang lebih rumit di antara ular dan manusia”.

Di tahun 1976, antropolog Thomas Headland dari Southern Methodist University di Dallas mewawancarai 120 orang Agta dewasa mengenai serangan ular piton. Ketika itu, Headland, yang telah mempelajari bahasa Agta, sedang meneliti cara-cara perburuan mereka, tidur di sebuah pondok temporer yang kecil, dan tinggal bersama kelompok keluarga kecil. Baru-baru ini, ia bekerja sama dengan Greene untuk menganalisis hasil wawancaranya itu. Dari para laki-laki yang diwawancarai, hampir 26% di antaranya pernah diserang oleh ular, dan  nyaris semua laki-laki itu memiliki bekas luka akibat gigitan ular piton. Insiden serangan piton yang membekas di ingatan mereka –yakni serangan yang mengakibatkan kematian atau cidera berat—terjadi setiap 2 hingga 3 tahun antara tahun 1940an hingga 1970an.  Jika jumlah serangan ini terus konsisten selama beberapa generasi, kata peneliti ini menyimpulkan, tingkat kematian dalam populasi ini akan mencapai lebih dari 8% di masa lalu, ketika senjata yang terbuat dari besi seperti pisau masih jarang di populasi Agta itu. Namun Agta Negritos, demikian terungkap dari hasil wawancara itu, juga memburu piton. Ular piton dewasa acapkali panjangnya mencapai 5 meter lebih dan menyediakan daging hingga lebih dari 20 kilogram. Semua laki-laki Agta yang diwawancara mengaku pernah membunuh ular piton, setidaknya yang berukuran kecil.

Selain itu, ular-ular piton dan orang Agta saling berkompetisi soal mangsa yang sama, demikian dilaporkan tim peneliti itu secara online hari ini di Proceedings of the National Academy of Sciences. “Dari waktu ke waktu mereka selalu menemukan dalam perut ular yang mereka sembelih spesies mangsa yang juga disukai oleh orang Agta: rusa liar, babi hutan, dan monyet,” kata Greene. “Dengan demikian, orang-orang Agta itu menyadari,  ketika mereka memakan piton, bahwa ular itu adalah pesaing mereka dalam urusan mangsa lain”.
Greene juga menelisik tulisan-tulisan tentang pengamatan atas persaingan antara primata lain dengan ular. Ia menemukan bukti bahwa banyak spesies monyet dan lemur yang memiliki kedua hubungan yang sama dengan ular: pemburu dan diburu. Sama halnya dengan itu, ia juga menganalisa data dari catatan insiden-insiden serangan ular di pedesaan Indonesia dan Malaysia dan menemukan frekuensi serangan dan fatalitas yang serupa. Hal ini memperkuat gagasan bahwa  persaingan yang kompleks ini telah berlangsung sepanjang sejarah evolusi ular dan primata, termasuk manusia. 

“Ini merupakan data yang tidak bisa Anda dapatkan lagi,” ujar antropolog Lynne Isbell dari University of California, Davis, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Pada tahun 1990an, habitat Agta Negrito mengalami perkembangan yang pesat dan mereka sudah berhadapan dengan kebudayaan modern – Agta sekarang terancam punah.  “Manusia tidak lagi hidup dalam kondisi pemburu dan pengumpul makanan seperti halnya Agta Negritos dulu,” ucapnya, “jadi kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk melihat persaingan dengan ular ini”.

Isbell menyebut hubungan antara ular dan primata sepanjang sejarah itu sebagai “sebuah lomba persenjataan evolusioner”. Ia mengatakan bahwa ada bukti bahwa tekanan untuk bisa mendeteksi ular yang pandai bersembunyi tampaknya mendorong terjadinya perbaikan pandangan mata manusia purba. Sama halnya, meningkatnya kecerdasan manusia bisa jadi memaksa ular untuk mengembangkan metode kamuflase dan pertahanan baru. Greene berencana untuk menyelidiki bagaimana hal ini bisa tercermin dalam susunan biologi ular dewasa ini. Jumlah baru frekuensi interaksi primata dengan ular, kata Isbell, memperkuat gagasan itu.  “Untuk pertama kalinya data kuantitatif akan dimasukkan ke dalam cerita ini.”

Di Amerika Serikat saat ini, perjumpaan dengan ular berbisa sudah jarang terjadi, namun ada sebuah analisis baru terhadap anekdot-anekdot akan membangkitkan kembali hubungan antara ular dan manusia yang dulu pernah ada, ujarnya.

No comments:

Post a Comment