oleh Sarah C. P. Williams, tanggal 12 December 2011, 3:02 PM
di http://news.sciencemag.org/sciencenow/2011/12/an-arms-race-between-snakes-and.html?ref=hp
Tangkapan Besar. Ular sepanjang 22 kaki ini dibunuh oleh orang-orang Agra Negrito di tahun 1970an, memberikan sekitar 25 kg daging untuk keluarga si pemburu. Foto milik J. Headland |
Di suatu senja tanggal 13 Maret 1973, seekor ular
piton masuk ke dalam sebuah pondok jerami di Filipina dan membunuh dua orang
kakak beradik: seorang anak perempuan berumur 4 tahun dan seorang anak
laki-laki berumur 3 tahun. Anak ketiga terselamatkan ketika ayahnya kembali ke
pondok dan membunuh reptil itu dengan sebilah pisau bolo.
Itulah salah satu kejadian yang digambarkan dalam
sebuah analisis baru mengenai serangan ular ke Agta Negritos, sebuah kebudayaan
pemburu dan pengumpul makanan yang hidup di wilayah pegunungan yang terisolir
di pulau Luzon hingga tahun 1990an. Data baru, berdasarkan wawancara dengan
orang Agta dewasa, mengungkapkan bahwa ular lebih dari sekedar pengganggu bagi
mereka. Ular adalah mangsa, pemburu, sekaligus kompetitor bagi orang Agta. Hubungan
yang kompleks ini mengungkapkan adanya tekanan evolusioner antara manusia dan
ular.
“Sebelum ada data ini, sebagian besar orang
berpikir bahwa hanya ada hubungan satu arah: ular kadang-kadang mengancam
manusia,” ucap herpetolog Harry Greene dari Universitas Cornell yang turut
membantu dalam analisis baru ini. “Tapi inilah bukti terkuat bahwa sebenarnya
ada hubungan yang lebih rumit di antara ular dan manusia”.
Di tahun 1976, antropolog Thomas Headland dari
Southern Methodist University di Dallas mewawancarai 120 orang Agta dewasa
mengenai serangan ular piton. Ketika itu, Headland, yang telah mempelajari
bahasa Agta, sedang meneliti cara-cara perburuan mereka, tidur di sebuah pondok
temporer yang kecil, dan tinggal bersama kelompok keluarga kecil. Baru-baru
ini, ia bekerja sama dengan Greene untuk menganalisis hasil wawancaranya itu. Dari
para laki-laki yang diwawancarai, hampir 26% di antaranya pernah diserang oleh
ular, dan nyaris semua laki-laki itu
memiliki bekas luka akibat gigitan ular piton. Insiden serangan piton yang
membekas di ingatan mereka –yakni serangan yang mengakibatkan kematian atau
cidera berat—terjadi setiap 2 hingga 3 tahun antara tahun 1940an hingga 1970an.
Jika jumlah serangan ini terus konsisten
selama beberapa generasi, kata peneliti ini menyimpulkan, tingkat kematian
dalam populasi ini akan mencapai lebih dari 8% di masa lalu, ketika senjata
yang terbuat dari besi seperti pisau masih jarang di populasi Agta itu. Namun Agta
Negritos, demikian terungkap dari hasil wawancara itu, juga memburu piton. Ular
piton dewasa acapkali panjangnya mencapai 5 meter lebih dan menyediakan daging
hingga lebih dari 20 kilogram. Semua laki-laki Agta yang diwawancara mengaku
pernah membunuh ular piton, setidaknya yang berukuran kecil.
Selain itu, ular-ular piton dan orang Agta saling
berkompetisi soal mangsa yang sama, demikian dilaporkan tim peneliti itu secara
online hari ini di Proceedings of the
National Academy of Sciences. “Dari waktu ke waktu mereka selalu menemukan
dalam perut ular yang mereka sembelih spesies mangsa yang juga disukai oleh
orang Agta: rusa liar, babi hutan, dan monyet,” kata Greene. “Dengan demikian,
orang-orang Agta itu menyadari, ketika
mereka memakan piton, bahwa ular itu adalah pesaing mereka dalam urusan mangsa
lain”.
Greene juga menelisik tulisan-tulisan tentang
pengamatan atas persaingan antara primata lain dengan ular. Ia menemukan bukti
bahwa banyak spesies monyet dan lemur yang memiliki kedua hubungan yang sama
dengan ular: pemburu dan diburu. Sama halnya dengan itu, ia juga menganalisa
data dari catatan insiden-insiden serangan ular di pedesaan Indonesia dan
Malaysia dan menemukan frekuensi serangan dan fatalitas yang serupa. Hal ini
memperkuat gagasan bahwa persaingan yang
kompleks ini telah berlangsung sepanjang sejarah evolusi ular dan primata,
termasuk manusia.
“Ini merupakan data yang tidak bisa Anda dapatkan
lagi,” ujar antropolog Lynne Isbell dari University of California, Davis, yang
tidak terlibat dalam penelitian ini. Pada tahun 1990an, habitat Agta Negrito
mengalami perkembangan yang pesat dan mereka sudah berhadapan dengan kebudayaan
modern – Agta sekarang terancam punah. “Manusia
tidak lagi hidup dalam kondisi pemburu dan pengumpul makanan seperti halnya
Agta Negritos dulu,” ucapnya, “jadi kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk
melihat persaingan dengan ular ini”.
Isbell menyebut hubungan antara ular dan primata
sepanjang sejarah itu sebagai “sebuah lomba persenjataan evolusioner”. Ia mengatakan
bahwa ada bukti bahwa tekanan untuk bisa mendeteksi ular yang pandai
bersembunyi tampaknya mendorong terjadinya perbaikan pandangan mata manusia
purba. Sama halnya, meningkatnya kecerdasan manusia bisa jadi memaksa ular
untuk mengembangkan metode kamuflase dan pertahanan baru. Greene berencana
untuk menyelidiki bagaimana hal ini bisa tercermin dalam susunan biologi ular
dewasa ini. Jumlah baru frekuensi interaksi primata dengan ular, kata Isbell,
memperkuat gagasan itu. “Untuk pertama
kalinya data kuantitatif akan dimasukkan ke dalam cerita ini.”
No comments:
Post a Comment